Terbaru Pandangan Para Jago Pendidikan Ihwal Qs. Al Kahfi Ayat 66-70 Kepingan Iii

PANDANGAN PARA AHLI PENDIDIKAN TENTANG SURAT AL-KAHFI AYAT 66 - 70 MENGENAI PERAN PENDIDIK DALAM MEMBIMBING PESERTA DIDIK BAB III - Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu, fi’lan yang berarti; mengerti, memahami benar-benar. Dalam bahasa inggris disebut science; dari bahasa latin scientia (pengetahuan). 

Sedangkan berdasarkan Istilah ilmu yaitu pengetahuan yang bersifat koheren, empiris, sistematis, sanggup diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang mistik dan penghayatan serta pengalaman pribadi (Bakhtiar, A. 2004:13).

PANDANGAN PARA AHLI PENDIDIKAN TENTANG SURAT AL Terbaru  Pandangan Para Ahli Pendidikan Tentang QS. Al Kahfi Ayat 66-70 Bab III
Guru MTs Nurul Falah Cimahi foto bareng pada Hari Guru Nasional

Harsojo, Guru besar antropolog di Universitas Pajajaran yang dikutip oleh Amsal Bakhtiar (2004:15) mendefinisikan bahwa ilmu yaitu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan, suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empirirs, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya sanggup diamati oleh panca indera.

Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung (2004:123) menawarkan pandangan bahwa ilmu sanggup dilihat dari dua segi, yaitu ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai objek. Ilmu sebagai proses melibatkan ilmu deria, ilmu akal, dan ilmu laduni.

Sebagai objek Ilmu berdasarkan al-Ghazali, bukan saja menghindari efek fasafah Yunani di zamannya, tetapi juga penulis-penulis dalam pendidikan pada zaman mutakhir belum sanggup menjangkau insigh beliau.

Dari dari keterangan para andal ihwal ilmu diatas, sanggup disimpulkan bahwa ilmu yaitu sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, sanggup diukur, terbuka dan kumulatif (tersusun timbun). Hasilnya dari ilmu pengetahuan sanggup dibuktikan dengan percobaan yang transparan dan objektif. Ilmu pengetahuan mempunyai spektrum analisis amat luas, meliputi problem yang sifatnya supermakro, makro dan mikro. Hal ini terang terlihat, contohnya pada ilmu ilmu: fisika, kimia, kedokteran, pertanian, rekayasa, dan bioteknologi.

Pedagogik atau ilmu pendidikan  ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan ihwal gejala-gejal perbuatan mendidik. Pedagogik berasal dari kata Yunani paedagogia yang berarti “pergaulan dengan anak-anak”,. Paedagogis ialah seorang pelayan atau bujang pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput bawah umur ke dan dari sekolah. Juga di rumahnya bawah umur tersebut selalu dalam pengawasan dan penjagaan dari paedagogos itu (Purwanto, N. 1985:3). 

    
Ahmad Tafsir (2006:33) menyatakan bahwa pendidikan ialah perjuangan membentu insan menjadi manusia. Ada dua kata yang penting dalam kalimat tersebut, pertama “membantu” dan kedua “manusia”. Manusia perlu dibantu semoga ia berhasil menjadi manusia. Seseorang sanggup dikatakan menjadi insan bila telah mempunyai nilai (sifat) kemanusiaan. 

Soegarda Purbakawaca, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, (2003:12) menurutnya dalam arti umum, pendidikan meliputi segala perjuangan dan perbuatan dari generasi renta untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk melaksanakan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya.

Menurut Ngalim Purwanto (2007: 11) pendidikan yaitu segala perjuangan orang cukup umur dalam pergaulan dengan bawah umur untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani.

Dari pengertian pendidikan berdasarkan para andal diatas bahwa pendidikan mempunyai dimensi yang cukup luas, meliputi pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan hidup. Pendidikan pada prinsipnya merupakan suatu proses bimbingan dan pembinaan  yang dilakukan secara sadar oleh pendidik terhadap seluruh potensi akseptor didik, baik jasmani maupun rohaninya semoga ia mempunyai kepribadian yang utama, bisa berdiri sendiri dan sanggup mencapai kedewasaannya.

Setelah pengertian pendidikan secara umum, selanjutnya pengertian dari penggabungan pendidikan dan Islam (secara khusus) lantaran dengan penggabungan dua kata tersebut akan mengakibatkan pengertian dan pemahaman baru.  H. M. Arifin, sebagaimana dikutip Abuddin Nata (2003: 12) mendefinisikan pendidikan Islam adalah:
 
Sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani berdasarkan pedoman Islam dengan nasihat mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua pedoman Islam. Istilah membimbing, mengarahkan dan mengasuh serta mengajarkan dan melatih mengandung pengertian perjuangan mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu menanamkan takwa dan nrimo serta menegakkan kebenaran, sehingga terbentuklah insan yang berpribadi dan berbudi luhur sesuai pedoman Islam.

Menurut irit penulis dari pengertian pendidikan Islam diatas ada tiga poin yang sanggup disimpulkan, pertama, pendidikan Islam menyangkut aspek jasmani dan rohani. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, maka dengan itu training terhadap keduanya harus sejajar dan seimbang. Kedua, pendidikan Islam mendasarkan konsepsinya pada nilai-nilai religius. Ini berarti pendidikan Islam tidak mengabaikan faktor teologis sebagai sumber dari ilmu itu sendiri. Ketiga, adanya unsur takwa sebagai tujuan yang harus dicapai.

Pendapat lain yaitu berdasarkan Zakiah Daradjat ( 2008: 28 ) bahwa pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Di segi lainnya bahwa pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga peraktis.  Ajaran Islam tidak memisahkan antara doktrin dan amal , oleh lantaran itu pendidikan Islam yaitu sekaligus pendidikan doktrin dan pendidikan amal.

Menurut Ahmad Dahlan, sebagaimana yang dikutip oleh Suwito dan Fauzan (2003: 328 ) bahwa model pendidikan Islam yaitu:
  1. Tarbiyah, yang mempunyai makna menanamkan dan mewujudkan kesadaran secara prikemanusiaan untuk hidup bersama, sehingga bawah umur didik mempunyai tanggung jawab individual selaku makhluk sosial.
  2. Ta’lim, yang mempunyai maksud mencerdaskan sains dan teknologi di otak anak didik, sehingga mereka menjadi ilmuwan-ilmuwan Islam yang mantap.
  3. Ta’dib,  yaitu menawarkan pelajaran dan pengamalan kepada anak didik untuk berlaku sopan dan mempunyai adat yang baik.

Nasir Budiman (2001: 1) beropini bahwa lapangan pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses pengajaran, tetapi meliputi segala perjuangan penanaman nilai-nilai Islam ke dalam diri subjek didik. Usaha tersebut sanggup dengan mempengaruhi, membimbing, melatih, mengarahkan, membina, dan mengembangkan kepribadian subjek didik. Tujuannya yaitu terwujudnya insan muslim yang berilmu, beriman dan berinfak shaleh. Usaha-usaha tersebut bisa dilaksanakanb secara eksklusif atau tidak langsung. 

Pernyataan Nasir Budiman ini menawarkan pemahaman, bahwa pendidikan Islam pada dasarnya bersumberkan nilai-nilai pedoman Islam. Disamping menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam tersebut, pendidikan Islam juga mengembangkan kemampuan bakir pengetahuan sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi sosial yang ada.
    
Pendapat yang lain yaitu berdasarkan Nur Uhbiyati (1999: 13)  bahwa yang dimaksud pendidikan Islam ialah suatu sistem kependidikan yang meliputi seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan hamba Allah swt.. Oleh lantaran itu Islam mempedomani seluruh aspek kehidupan insan Muslim baik dduniawi maupun ukhrawi. Dari pengertian diatas maka jelaslah bagi kita bahwa semua cabang ilmu pengetahuan yang secara materil bukan Islamis, termasuk ruang lingkup pendidikan Islam juga, sekurang-kurangnya menjadi serpihan yang menunjang. 

Jika dilihat dari beberapa definisi yang disampaikan oleh para andal pendidikan Islam, maka sanggup dipahami bahwa ilmu pendidikan Islam yaitu konsep berpikir yang bersifat mendalam dan terperinci taentang hal-hal yang berkaitan dengan kependidikan berdasarkan pedoman Islam yang kesemuanya itu disusun menjadi suatu ilmu yang bulat.

2. Tujuan Pendidikan Islam

Pertama sekali bahwa sekali bahwa setiap perbincangan mengenai pendidikan sebagai suatu ilmu pengetahuan selalu melibatkan perbincangan ihwal tujuan-tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan yaitu serupa dengan tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanya suatu alat yang dipakai oleh insan untuk memelihara kelanjutan hidupnya, sebagai individu dan sebagai masyarakat. Makara tujuan pendidikan yaitu masalah yang teramat penting, lantaran tujuan itulah yang memilih sifat-sifat metode dan kandungan pendidikan. Setiap masyarakat mempunyai angan-angan tersendiri ihwal individu-individu yang dicita-citakannya.

Hasan Langgulung (2004: 47) mengemukakan bahwa istilah tujuan atau matlamat berasal dari kata mata dan alamat. Mata adal;ah citra bundar ibarat bentuk mata, sedang alamat yaitu sasaran ibarat memanah. Makara tujuan yaitu sasaran anak panah atau tujuan yang ingin dicapai sewaktu mengerjakan sesuatu. 

Menurut Zakiah Daradjat (2008: 28)  menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah:

1.   Tujuan Umum

Tujuan Umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua acara pendidikan, baik dengan pengajaran ataupun dengan cara lain. Tujuan itu meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum pendidikan Islam harus dikaitkan pula dengan tujuan pendidikan nasional negara tempat pendidikan Islam itu dilaksanakan dan harus dikaitkan pula dengan tujuan institusional forum yang menyelenggarakan pendidikan itu. Tujaun umum itu tidak sanggup dicapai kecuali setelah melalui proses pengajaran, pengalaman, pembiasaan, penghayatan dan keyakinan akan kebenarannya.
 
2.   Tujuan Akhir

Pendidikan Islam itu berlangsung selama hidup, maka tujuan akibatnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini ia telah berakhir pula. Tujuan umum yang berbentuk Insan Kamil dengan rujukan takwa sanggup mengalami perubahan naik turun, bertambah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang. Lingkungan dan pengalaman sanggup mempengaruhinya. Karena itulah pendidikan Islam berlaku selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara dan mempertahankan tujuan pendidikan yang telah dicapai. Orang sudah bertakwa dalam bentuk Insan Kamil, masih perlu mendapatkan pendidikan dalam rangka pengembangan dan penyempurnaan, sekurang-kurangnya untuk memelihara supaya tidak luntur dan berkurang. Tujuan selesai pendidikan sanggup dipahami dalam Firman Allah swt. dalam surat Ali-Imran ayat 102:


Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kau kepada Allah swt. dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya; dan janganlah kau mati melainkan dalam keadaan beragama Islam“. (Depag RI, 1979: 92)

3. Tujuan Sementara
Tujuan sementara yaitu tujuan yang ingin dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Tujuan operasional dalam bentuk tujuan instruksional yang dikembangkan menjadi tujuan instruksional umum dan khusus (TIU dan TIK), sanggup dianggap tujuan sementara dengan sifat yang agak berbeda.

Dari pengertian tujuan pendidikan diatas sanggup disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi Insan kamil dengan rujukan takwa. Insan Kamil artinya insan utuh rohani dan jasmani, sanggup hidup dan berkembang secara masuk akal dan normal lantaran ketakwaanya kepada Allah swt. swt.

Selanjutnya berdasarkan Mohammad a thiyah al-Abrasyi, sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung (2004: 51) bahwa ada 5 tujuan pendidikan Islam secara umum:
  1. Untuk mengadakan pembentukan budbahasa yang mulia. Kaum muslimin dari dahulu hingga kini baiklah bahwa pendidikan budbahasa yaitu inti pendidikan Islam, dan bahwa mencapai budbahasa yang tepat yaitu tujuan pendidikan yang sebenarnya.
  2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam bukan hanya menitik beratkan pada keagamaan saja, atau pada keduniaan saja, tetapi pada kedua-duanya.
  3. Persiapan Untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat, atau yang lebih populer kini ini dengan nama tujuan-tujuan vokasional dan profesional.
  4. menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan keinginan tahu dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.
  5. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, tehnikal dan pertukangan supaya sanggup menguasai profesi tertentu, dan keterampilan pekerjaan tertentu semoga sanggup ia mencari rezeki dalam hidup disamping memelihara segi jerohanian dan keagamaan.
Menurut  Abdurrahman an-Nahlawi (1989: 163-) bahwa tujuan pendidikan Islam ialah:
1.    Islam dan Perealisasian Kepribadian
Tujuan pendidikan ini merupakan faktor paling menonjol yangn membedakan negara-negara barat dengan negara-negara sosialis. Tujuan ini yakni, bahwa setiap manusia, dengan individualitasnya, mempunyai kepribadian dan beberapa ciri khas yang membedakannya dengan insan lain.

2.    Islam dan Tujuan Perkembangan

Bahwa satu-satunya tujuan pendidikan yaitu perkembangan insan dari seluruh aspek intelektual, fisik, dan fsikis. Contohnya perkembangan fisik bahwa tidak diragukan lagi bahwa ketaatan, ibadah, dan dakwah dijalan Allah swt. membutuhkan perjuangan keras dan kekuatan fisik. Didalam hadits Muslim disebutkan:

“Orang mu’min yang berpengaruh lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah swt. daripada orang mu’min yang lemah”.

Menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata (2003: 66) menegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam ialah mengembangkan budi pekerti yang meliputi penanaman kualitas moral dan etika ibarat kepatuhan, keamnusiaan, kesederhanaan, dan membenci terhadap perbuatan jelek ibarat kebanggaan, mengasihi kemewahan dan berdusta yang ditujukan untuk mematuhi kehendak Tuhan, pasrah dan bersyukur kepada-Nya

    Menurut Ahmad Tafsir (1994:46-47) tujuan pendidikan Islam yaitu:
  1. Pendidikan Islam bertujuan mewujudkan nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia. Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarnai rujukan kepribadian manusia. Nilai-nilai ideal yang dimaksud yaitu yang bercorak Islami.
  2. Tujuan pendidikan Islam yaitu muslim yang sempurna, muslim  yang takwa, muslim yang beriman atau insan yang beribadah kepada Allah swt. swt.
  3. Pendidikan Islam yaitu pendidikan yang berdasarkan al-Quran, al-Hadits, dan Ijma yang mendkatkan kepada keimanan dan pendidikan keimanan yang bisa mendekatkan diri seseorang sehingga sanggup melaksanakan yang baik dan sanggup meninggalkan yang buruk. Iman takwa itulah yang sanggup secara niscaya menjadi landasan akhlak.
Apabila memperhatikan pengertian tujuan Islam diatas, maka tujuan pendidikan Islam yaitu membuat kepribadian mulia (insan kamil) yang mempunyai keimanan dan ketakwaan. Dengan demikian pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan insan yang berkhasiat bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan pedoman Islam.

Selanjutnya berdasarkan Ibnu Khaldun, sebagaimana dikutip oleh Nur Uhbiyati (1999: 55) membagi-bagi tujuan pendidikan Islam itu kepada:
  1. Mempersiapkan seseorang dari segi keagamaan, yaitu mengajarkan syiar-syiar agama berdasarkan al-Quran dan Sunah, lantaran dengan pedoman itu potensi doktrin diperkuat.
  2. Menyiapkan seseorang dari segi akhlak.
  3. Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
  4. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, lantaran dengan pemikiranlah seseorang itu sanggup memegang banyak sekali pekerjaan dan pertukangan atau keterampilan tertentu.
  5. Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, disini termasuk musik, syair, khat, seni bangunan dan lainnya.
Tujuan pendidikan Islam secara umum yaitu untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan kesadaran insan sebagai makhluk Allah swt. swt. semoga mereka tumbuh dan bermetamorfosis insan yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-Nya (Nata, A. 2003: 211). 

Selanjutnya menurit Abuddin Nata apabila tujuan pendidikan Islam dikaitkan dengan ayat al-Quran dan al-Hadits maka tujuan pendidikan Islam yaitu sebagai berikut:
  • Tujuan pertama yaitu menumbuhkan dan mengembangkan ketakwaan kepada Allah swt. swt. yaitu firman Allah swt. surat Ali Imran ayat 102.
  • Menumbuhkan sikap dan jiwa yang selalu beribadah kepada Allah swt., sebagaimana Firman Allah swt. dalam surat ad-dzariyat ayat 56:

    Artinya:
    “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecualin untuk beribadah kepada-Ku”

c.    Tujuan pendidikan Islam yaitu membina dan memupuk akhlakul karimah sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.:

   “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan budbahasa yang baik”
 
Sedangkan berdasarkan Hasan Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata (2003: 212) bahwa tujuan pendidikan Islam suatu istilah untuk mencari fadilah, kurikulum pendidikan Islam berintikan budbahasa yang mulia dan mendidik jiwa insan berkelakuan dalam hidupnya sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaan yakni kedudukan yang mulia yang diberikan Allah swt. swt. melebihi makhluk-makhluk lain dan dia diangkat sebagai khalifah.

Berdasarkan uraian ihwal tujuan-tujuan pendidikan Islam diatas terang sekali bahwa tujuan pendidikan Islam yaitu tujuan yang mengharapkan adanya pembaharuan yang sesuai dengan norma Islam, segala prilaku insan didasarkan pada doktrin dan takwa kepada Allah swt. swt. Takwa dalam arti taat kepada kekuasaan Allah swt. swt yang mutlak dan mengandung penyerahan diri secara total kepada-Nya. Dengan demikian sanggup disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam secara umum ialah untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan kesadaran insan sebagai makhluk Allah swt. swt, semoga mereka tumbuh dan bermetamorfosis insan yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-Nya. menuju kebahagian dunia maupun akhirat.

3. Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
 
a. Pendidik / Guru
 
Pendidik atau guru merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling utama dan pertama diantara komponen-komponen pendidikan lainnya. Hal ini disebabkan bahwa pendidik selain sebagai motor penggerak, juga merupakan penentu atas kesuksesan suatu perjuangan pendidikan. Pendidik juga mempunyai tanggung jawab besar dalam rangka mencapai yang telah dirumuskan.

Kata “pendidik” itu meliputi semua orang yang memberi pendidikan, ibarat guru, ustad, kyai, pengajar, dan orangtua. Seorang pendidik yaitu teladan bagi generasi di zamannya. Ia memegang peranan penting dalam perkembangan suatu masyarakat. Oleh karenanya, jikalau ia sanggup melaksanakan kewajibanya dalam mengajar, nrimo dalam melaksanakan tugas, dan mengarahkan anak didiknya kepada pendidikan agama serta sikap yang baik, maka ia akan menerima keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat.

Sebagaimana teori Barat, pendidik dalam Islam yaitu orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan akseptor didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi akseptor didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa) (Tafsir, A. 1992: 74).

Menurut Zakiah Daradjat (2008: 39) bahwa guru yaitu pendidik profesional, karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya mendapatkan dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di bahu orang tua. Mereka ini tatkala menyerahkan anaknya ke sekolah, sekaligus berarti pelimpahan sebaian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru.

Oemar Hamalik (2004: 40) beropini bahwa guru yaitu pribadi kunci (key person), yang patut ditiru di kelas lantaran besar pengaruhnya terhadap prilaku dan berguru para siswa yang mempunyai kecenderungan menjiplak dan beridentifikasi. Dari pengertian diatas terang bahwa guru memgang penting dalam upaya mencapai tujuan pendidikan, dan karenanya peningkatan mutu guru sangat urgen. Adanya kemajuan masyarakat dan tanda-tanda terjadinya macam-macam konflik  mendorong perlunya pelaksanaan bimbingan di sekolah.

Pendidik berarti juga orang cukup umur yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada akseptor didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, semoga mencapai tingkat kedewasaan, bisa berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, bisa sanggup berdiri diatas kaki sendiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah swt. swt. Dan bisa melaksanakan kiprah sebagai makhluk social dan sebagai makhluk individu yang sanggup berdiri diatas kaki sendiri (Suryosubrata, B. 1983: 26).

Sedangkan berdasarkan Nur Uhbiyati (1997: 71) menawarkan pengertian lain ihwal pendidik yaitu orang cukup umur yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau derma kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya semoga mencapai kedewasaannya, bisa melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah swt., khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri. 

Selanjutnya berdasarkan Abdurrahman an-Nahlawi (1989: 237) bahwa pendidik ialah orang yang mengkaji serta mengajarkan ilmu illahi kepada insan untuk mengembangkan dan membersihkan jiwa mereka, menjauhkan dari kejahatan serta menjaganya semoga tetap berada dalam fitrahnya.

Nana Sudjana (2020: 15) guru yaitu sebagai pembimbing yang memberi tekanan kepada tugas, memberi derma kepada siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapinya. Tugas ini merupakan aspek mendidik, lantaran tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan tetapi juga menyangkut pengembangan kepribadian dan pembentukan nilai-nilai para siswa.

Selanjutnya Imam al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Abidin ibnu Rusn (2020: 76) menyampaikan bahwa perumpamaan guru yang membimbing murid yaitu bagaikan tabrakan dengan tanah liat, atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat sanggup terukir sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya, bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok. 

Dari pengertian pendidik berdasarkan al-Ghazali diatas maka kalau kita simpulkan bahwa seorang guru sebagai subjek dalam pendidikan sebelum melaksanakan tugasnya, yakni mendidik dan mengajar, harus telah menjadi orang yang beriman, bertakwa dan berbudi luhur. Tanpa memenuhi persyaratan ini tidak mungkin tujuan pendidikan akan tercapai.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, sanggup dirumuskan bahwa pendidik yaitu orang cukup umur yang bertanggung jawab dalam menawarkan bimbingan dan pertolongan kepada anak didik semoga sanggup mencapai kedewasaannya, dalam arti bisa mengembangkan kepribadiannya ke arah yang lebih baik. Bimbingan dan pertolongan yang dimaksud hendaknya berdasarkan norma-norma yang berlaku dan sesuai dengan pedoman Islam. Dalam pedoman Islam, pendidik menerima penghormatan dan kedudukan yang sangat tinggi. Penghormatan yang tinggi ini dipandang logis diberikan, mengingat begitu besarnya jasa yang diberikan oleh seorang pendidik. Ia membimbing mengarahkan, menawarkan pengetahuan, membentuk budbahasa dan menyiapkan anak didik semoga siap menghadapi hari depan dengan penuh percaya diri, sehingga sanggup melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini.

Untuk sanggup melaksanakan kiprah tersebut, seorang pendidik selain harus menguasai ilmu pengetahuan yang akan disampaikan kepada anak didik, juga harus mempunyai sifat-sifat mulia yang sanggup melengkapi kepribadiannya. Dengan sifat-sifat ini diharapkan apa yang disampaikan oleh pendidik kepada anak didik sanggup didengar dan dipatuhi, tingkah lakunya sanggup ditiru dan diteladani dengan baik.

Para andal pendidikan telah mentapkan sifat-sifat tertentu dan kiprah serta kewajiban yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Misalnya Fu’ad al-Syalhub (2006: 5 - 44) menjelaskan bahwa ada sebelas sifat yang harus dimilki oleh pendidik, yaitu:
  1. Mengikhlaskan ilmu kepada Allah swt.
  2. Kejujuran seorang guru
  3. kesesuaian perkataan dengan perbuatan
  4. Bersikap adil dan egaliter
  5. Menghiasai diri dengan budbahasa mulia dan terpuji
  6. Ketawadhuan seorang guru
  7. Keberanian seorang guru
  8. Canda guru kepada murid-muridnya
  9. Sabar dan menahan amarah
  10. Menghindari ucapan kotor dan keji
  11. Guru meminta derma orang lain
Hasan Langgulung (2004: 213) menyebutkan cara yang sanggup dipakai oleh pendidik yang ingin mengajar semoga supaya lebih bersifat kreatif:
  1. mengakui dan mengetahui potensi-potensi kreatif murid.
  2. menghormati pertanyaan dan ide-ide mereka
  3. mempersoalkan mereka dengan permasalahan-permasalahan yang bersifat profokatif untuk mengakibatkan sifat ingin tahu dan khayal (imagination).
Selanjutnya berkaitan dengan kiprah dan tanggung jawab guru, al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Abidin Ibnu Rusn (2020: 67) menyebutkan tujuh sifat pendidik, yaitu:
  1. Guru ialah orang renta kedua di depan murid
  2. Guru sebagai pewaris ilmu nabi
  3. Guru sebagai penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid.
  4. Guru sebagai sentral figur bagi murid
  5. Guru sebagai motivator bagi murid
  6. Guru sebagai orang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid.
  7. Guru sebagai teladan bagi murid.
Bagaimana pendidik seharusnya memakai kewibawanya yaitu menolong dan memimpin murid kearah kedewasaanya ? maka dalam hal ini Ngalim Purwanto (1995: 52) menjelaskan bahwa seorang pendidik dalam mengunakan kewibawannya harus berdasrkan faktor-faktor berikut:
  1. Dalam memakai kewibawaannya hendaklah didasarkan pada perkembangan anak itu sendiri.  Pendidik hendaklah mengabdi kepada pertumbuhan anak yang belum selesai perkembangannya.
  2. Pendidik hendaklah menawarkan kesempatan kepada murid untuk bertindak atas inisiatip sendiri.
  3. Pendidik hendaknya menjalankan kewajibannya itu atas dasar cinta kepada murid. Ini berarti bermaksud hendak berbuat sesuatu untuk kepentingan murid, jadi bukannya memerintah atau melarang untuk kepentingannya sendiri.
Wina Sanjaya (2005: 143 - 144) menjelaskan bahwa guru yaitu jabatan profesional maka ada beberapa abjad yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yaitu:
  1. Mengajar bukan hanya memberikan materi saja, akan tetapi merupakan pekerjaan yang bertujuan dan bersifat kompleks. Oleh lantaran itu dalam pelaksanaannya dibutuhkan sejumlah keterampilan khusus yang didasarkan konsep dan ilmu pengetahuan yang spesifik.
  2. Sebagimana halnya tugas  seorang dokter yang berprofesi menyembuhkan penyakit pasiennya, maka kiprah seorang pendidik pun mempunyai bidang keahlian yang jelas, yaitu mengantarkan siswa kearah tujuan yang jelas.
  3. Agar sanggup melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan bidang keahliannya, maka dibutuhkan tingkat pendidikan yang memadai.
  4. Pendidik harus bisa mempersiapkan generasi insan yang sanggup hidup dan berperan aktif di masyarakat.
  5. Pekerjaan pendidik bukanlah pekerjaan yang statis, akan tetapi merupakan pekerjaan yang dinamis, yang selamanya harus sesuai dan menyesuaikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dari klarifikasi diatas sanggup kita simpulkan bahwa guru yaitu jabatan profesi yang harus mempunyai kemampuan dasar yang tidak lain yaitu kompetensi guru. Menurut Glasser, sebagaimana yang dikutip oleh Nana Sudjana ( 2020: 18) bahwa ada empat hal yang harus dikuasai oleh guru, yakni: mengasai materi pelajaran, kemampuan mendiagnosis tingkah laris siswa, kemampuan melaksanakan proses pengajaran, dan kemampuan mengukur hasil berguru siswa. Bertolak dari pendapat diatas, maka komptensi guru sanggup dibagi menjadi tiga bagian:
  1. Kompetensi bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual, ibarat penguasaan mata pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai berguru dan tingkah laris individu.
  2. Kompetensi bidang sikap, artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap banyak sekali hal yang berkenaan dengan kiprah dan profesinya.
  3. Kompetensi prilaku/performance, artinya kemampuan guru dalam banyak sekali keterampilan/berperilaku, ibarat keterampilan mengajar, membimbing, menilai, memakai alat bantu, berkomunikasi dengan murid, menumbuhkan semangat berguru siswa.
Zakiah Daradjat ( 2008: 40) mengemukakan bahwa dilihat dari pendidikan Islam, maka secara umum sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik adalah:
  1. Takwa kepada Allah swt. sebagai syarat utama seorang guru, lantaran guru sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik semoga murid bertakwa kepada Allah swt., jikalau ia sendiri tidak bertakwa kepada-Nya.
  2. Berilmu, ijazah bukan semata-mata secarcik kertas, tetapi suatu bukti, bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan.
  3. Sehat jasmani dan rohani
  4. Beerkelakuan baik.
Selanjutnya berdasarkan Zakiah Daradjat kalau dilihat dari segi budbahasa bahwa guru harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Mencintai jabatannya sendiri
  2. Bersikap adil terhadap semua muridnya
  3. Berlaku sabar dan tenang
  4. Guru harus berwibawa
  5. Guru harus gembira
  6. Guru harus bersifat manusiawi
  7. Bekerjasama dengan guru-guru lain
  8. Bekerjasama dengan masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas, sanggup dipahami bahwa menjadi seorang pendidik bukanlah hal yang mudah, mengingat semua kriteria dan tugas-tugas diatas pada pada dasarnya bertujuan membantu semoga anak didik memperoleh perubahan tingkah laris dalam rangka mencapai tingkat perkembangan yang optimal. Tugas ini dipandang berat, mengapa dianggap berat ? lantaran yang di didik yaitu kader-kader bangsa yang semuanya serba unik dan komplek. Dikatakan unik lantaran setiap anak mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, baik secara jasmani maupun rohani. Kemudian dikatakan kompleks, lantaran pada pada dasarnya pendidikan ditujukan pada pembentukan kepribadian secara utuh yang meliputi semua aspek kehidupan.
        
Berdasarkan hal inilah, maka pendidik dituntuk untuk senantiasa meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan dan kualitas pendidikannya, sehingga bisa menjadi pendidik yang sukses dalam menjalankan kiprah yang dibebankan kepadanya.

b. Peserta Didik 

Peserta didik/murid yaitu makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan berdasarkan fitrahnya masing-masing, mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. 

Didalam pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus dibutuhkan sebagai subjek pendidikan, diantaranya yaitu dengan cara melibatkan akseptor didik dalam memecahkan masalah dalam proses berguru mengajar. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik sanggup dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.

Dalam pengertian pendidikan secara umum, yang disebut akseptor didik atau murid yaitu sekelompok orang yang menjalankan acara pendidikan. Dalam pengertian sempit dan khusus, akseptor didik sanggup diartikan sebagai anak yang belum cukup umur dan tanggung jawabnya diserahkan kepada pendidik. Anak didik dalam pendidikan Islam ialah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui forum pendidikan (Darajat, Z., 1993: 35)
 
Ahmad Tafsir (2006: 165) menjelaskan dari sisi bahasa bahwa sebutan murid bersifat umum, sama umunya dengan anak didik dan akseptor didik. Istilah murid kelihatannya khas efek agama Islam. Didalam Islam istilah ini diperkenalkan oleh kalangan shufi. Istilah murid dalam tasawuf mengndung pengertian orang yang sedang belajar, menyucikan diri, dan sedang berjalan menuju Tuhan. Yang paling menonjol dalam istilah itu ialah kepatuhan murid pada guru (mursyid)-nya. Selanjutnya sebutan anak didik mengandung pengertian guru menyayangi murid ibarat anaknya sendiri. Dan sebutan akseptor didik yaitu sebutan yang paling mutakhir. Istilah ini menkankan pentingnya murid berpartisipasi dalam proses pembelajaran.

Maka kalau kita simpulkan dari pengertian diatas bahwa istilah yang paling tepat untuk pelajar ialah murid, lantaran istilah ini berisi konsep yang lebih menjamin tercapainya tujuan pendidikan yaitu terwujudnya insan yang mempunyai kemanusiaan yang tinggi.

Imam al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Zainudin, dkk. (1991: 64) mempergunakan istilah anak didik dengan beberapa kata, seperti; al- shabiy (kanak-kanak), kemudian al-Muta’allim (pelajar), dan al-thaalibul ‘ilmi (yang mencari ilmu) maka istilah anak didik sanggup diartikan: anak yang sedang menjalani perkembangan jasmani dan rohani semenjak awal terciptanya dan merupakan objek utama dari pendidikan.

Dari pengertian diatas sanggup disimpulkan bahwa anak didik yaitu orang yang sedang mendapatkan bimbingan dan latihan untuk mencapai kedewasaannya sehingga menjadi insan yang baik secara jasmani dan rohani.

B. Peran Pendidik dan Etika Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

1.    Peran dan Tugas Pendidik

Pendidik memegang kiprah yang sangat penting dalam pembentukan sebuah generasi. Tanggung jawab yang diembannya sangat besar. Ahmad Syauki, seorang penyair Mesir, sebagaimana yang dikutip oleh Fuad al-Syalhub (2006: 2) menyatakan bahwa guru itu hampir ibarat rasul. Kalau kita renungkan mungkin tidaklah terlalu berlebihan. Karena memang pada dasarnya, antara rasul dan guru mempunyai kiprah dan kiprah yang sama yaitu mendidik, mengajar, dan membina umat.

Guru menjadi duta-duta Nabi dalam mengembangkan agama Islam ke penguasa-penguasa kawasan tertentu. Kemudian setelah negara Islam bertambah luas maka disiapkanlah orang-orang tertentu yang mengajarkan Islam kepada bawah umur muda dan masyarakat (Langgulung, H., 2004: 195).          

Peran ialah rujukan tingkah laris tertentu yang merupakan ciri-ciri khas semua petugas dari pekerjaan atau jabatan tertentu. Guru harus bertanggung jawab atas hasil acara berguru anak melalui interaksi belajar-mengajar (Oemar Hamalik, 2004: 32). 

Sedangkan berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia (1989: 667) bahwa kiprah yaitu seperangkat tingkat yang di harapkan dimiliki oleh orang yang 

Selanjutnya berkaitan dengan kiprah dan kiprah guru, al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Abidin Ibnu Rusn (2020: 67) menyebutkan tujuh peranan pendidik, yaitu:
  1. Guru ialah sebagai orang renta kedua di depan akseptor didik.
  2. Guru sebagai pewaris ilmu nabi.
  3. Guru sebagai penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan akseptor didik.
  4. Guru sebagai sentral figur bagi akseptor didik
  5. Guru sebagai motivator bagi akseptor didik
  6. Guru sebagai orang yang memahami tingkat perkembangan intelektual akseptor didik.
  7. Guru sebagai teladan bagi akseptor didik.
Oemar Hamalik (2004: 33-34) menjelaskan, bahwa sedikitnya ada dua kiprah sebagai seorang pendidik, yaitu sebagai pengajar dan pembimbing. Guru sebagai pengajar artinya menawarkan pelayanan kepada akseptor didik semoga mereka menjadi anak didik yang selaras dengan tujuan sekolah itu. Guru sebagai pembimbing, artinya guru harus menawarkan derma terhadap individu untuk mencapai pemahaman dan pengarahan diri dalam melaksanakan penyesuaian terhadap lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Selanjutnya Wina Sanjaya (2005: 147) menjelaskan bahwa dikala ilmu pengetahun masih terbatas, dikala inovasi hasil teknologi belum berkembang hebat ibarat sekarang, maka kiprah guru disekolah yaitu memberikan ilmu pengetahuan artinya guru berperan sebagai sumber berguru (learning resources) bagi anak didik.

Selanjutnya Wina Sanjaya (2008: 280-) menjelaskan bahwa guru/pendidik dalam proses pembelajaran mempunyai kiprah yang sangat penting, bagaimanapun hebatnya kemajuan teknoligi, kiprah guru akan tetap diperlukan. Adapun beberapa kiprah guru, yaitu:
  1. Guru sebagai sumber belajar
  2. Guru sebagai fasilitator
  3. Guru sebagai pengelola
  4. Guru sebagai demonstrator
  5. Guru sebagai pembimbing
  6. Guru sebagai motivator
  7. Guru sebagai evaluator

Fuad al-Syalhub (2006: 49-63) menjelaskan, bahwa ada 7 (tujuh) kiprah dan kewajiban sebagai Pendidik:
  1. Menanamkan doktrin yang benar dan memperkokoh keimanan dikala mengajar.
  2. Memberi nasihat kepada akseptor didik. Sebagaimana  hadits yang diterima dari Tamim bin Aus al-dari ra. bahwasannya Nabi Muhammad saw. bersabda “Agama itu yaitu nasihat.” Kami bertanya, “Bagi siapa?” Beliau menjawab, “bagi Allah, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin pada umumnya.”
  3. Bersikap lembut terhadap akseptor didik dan mendidiknya dengan cara baik.
  4. Tidak terang-terangan menyebutkan nama dikala mencela seseorang.
  5. Mengucapkan salam kepada akseptor didik sebelum dan setelah pelajaran berlangsung.
  6. Memberikan eksekusi dikala mengajar.
  7. Memberikan hadiah kepada akseptor didik. 
2. Pengertian Akhlak / Etika

Menurut bahasa kata etika identik dengan budbahasa yang berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluq yang mengandung beberapa arti, di antaranya: Atabiat (sifat yang terbentuk tanpa dikehendaki dan diupayakan, adat (sifat yang diupayakan melalui latihan), dan watak yaitu hal-hal yang menjadi watak diupayakan hingga menjadi adat (Sa’adudin, A. 2006: 15).

Sedangkan berdasarkan istilah, Imam al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Abdul Mu’min Sa’adudin ( 2006: 18) menyatakan bahwa budbahasa ialah kekuatan pengetahuan, kekuatan emosi, kekuatan keinginan atau nafsu dan kekuatan keadilan.
   
Akhlak merupakan bentuk jamak (plural) dari kata “khuluqun “ diartikan sebagai perangai atau budi pekerti, citra batin atau watak karakter. Kata budbahasa serumpun dengan kata “khalqun” yang berarti kejadian dan bertalian dengan wujud lahir atau jasmani. Sedangkan budbahasa bertalian dengan faktor rohani, sifat atau sikap batin. Faktor lahir dan batin yaitu dua unsur yang tidak sanggup dipisahkan dari manusia, sebagaimana tidak sanggup dipisahkannya jasmani dan rohani (Zuhairini, dkk. 2008: 50)
   
Ahmad Tafsir (2006: 121) mendefinisikan, bahwa budbahasa yaitu budi pekerti yang ditentukan oleh agama. Dalam arti inilah Nabi Muhammad saw. diutus untuk memperbaiki budbahasa umat manusia. Akhlak ialah ukuran baik-buruk insan berdasarkan agama.
   
Atas dasar beberapa pendapat diatas, sanggup kita simpulkan bahwa budbahasa merupakan suatu hukum yang bersifat universal yang mengatur jasmani dan rohani. Akhlak merupakan pokok esensi pedoman Islam pula, disamping doktrin dan syari’ah, lantaran dengan budbahasa akan terbina mental dan jiwa seseorang untuk mempunyai hakikat kemanusiaan yang tinggi.

3. Etika Peserta Didik berdasarkan Pendidikan Islam
   
Dalam acara pendidikan, akseptor didik merupakan unsur yang sangat menentukan, disamping unsur pendidik. Karena keduanya merupakan aset hidup yang bisa mengolah dan melaksanakan unsur-unsur yang lainnya, yang merupakan aset mati. Peserta didik yaitu insan yang bisa dididik dan membutuhkan pendidikan dalam rangka mengaktualkan potensi yang ada pada dirinya serta untuk mendapatkan ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagai bekal beribadah kepada Allah swt. Oleh lantaran itu ilmu merupakan sesuatu yang sangat berharga, maka seseorang yang menuntut ilmu sepantasnya membekali dirinya dengan budbahasa yang mulia sebagai persiapan diri demi keberhasilannya.
   
Selanjutnya berkaitan dengan etika yang harus dimiliki oleh Peserta didik berdasarkan Ibnu Jamaah, sebagaimana yang dikutip oleh Suwito dan Fauzan (2003: 244-246) ada beberapa syarat, yaitu:
  1. Harus mensucikan hatinya dari sifat-sifat tercela.
  2. Niat yang baik dan nrimo dalam menuntut ilmu.
  3. Segera menuntut ilmu semenjak usia muda dan hingga selesai hayatnya.
  4. Menghindarkan diri dari kesibukan dunia dan merasa cukup dengan apa yang ada.
  5. Mengatur waktunya untuk berguru dan mengajar.
  6. Hendaknya meninggalkan kuliner yang mengakibatkan ia gampang lupa dalam memahami dan menghafal pelajarannya.
  7. Harus taat dan tawadhu dalam segala urusan.
Sa’id Hawwa, sebagaimana yang dikutif oleh Hasan Langgulung (2006: 166-168) menjelaskan adat dan kiprah akseptor didik (yang sanggup juga disebut sifat-sifat akseptor didik) sebagai berikut:
  1. Peserta didik harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum yang lainnya.
  2. Peserta didik harus mengurangi keterikatannya dengan kesibukan duniawiyah, karean kesibukan itu akan melengangkannya dari menuntut ilmu.
  3. Tidak sombong terhadap orang yang berilmu, tidak bertindak adikara terhadap guru.
  4. Harus mendahulukan menuntut ilmu yang paling penting untuk dirinya.
  5. Tidak menekuni banyak ilmu sekaligus, melainkanj berurutan dari yang paling penting.
  6. Tidak memasuki cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu sebelumnya.
  7. Hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu yang paling mulia, itu diketahui dari hasil belajarnya, dan kekuatan dalilnya.
Memuliakan ilmu pengetahuan sebagaimana juga memuliakan guru yaitu masalah yang esensial bagi akseptor didik. Pelajar yang tidak menghormati guru dan materi berguru yang dipelajari akan mengakibatkan kebodohan dalam dalam seluruh kehidupan dan tidak akan memperoleh laba dari kemuliaan berguru (Al-Jarnuzi, Tth. 16).

Selanjutnya berkaitan dengan etika akseptor didik, Syekh al-Jarnuzi menjelaskan sebagai berikut:
  1. Seorang akseptor didik dilarang berjalan di hadapan guru
  2. Peserta didik dilarang duduk di tempat guru duduk
  3. Peserta didik dilarang berbicara tanpa minta izin guru
  4. Seorang akseptor didik harus mematuhi apa yang diperintahkan guru, kecuali guru tersebut melawan atau bertentangan dengan kehendak Tuhan.
  5. Seoarng akseptor didik harus mendengarkan uraian yang diberikan guru dengan perhatian yang penuh, sekalipun akseptor didik sebelumnya pernah mendengarkan uraian tersebut.  
Menurut Hasyim Asy’ari, sebagaimana yang dikutip oleh Suwito dan Fauzan (2003: 356-361) menjelaskan etika yang harus dimiliki oleh akseptor didik dalam rangka mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu:
  1. Hendaklah membersihkan hatinya dari segala kebencian, kedengkian, doktrin yang ruksak dan budbahasa yang bobrok.
  2. Hendaklah memperbagus niat dalam mencari ilmu dengan tuua mendekatkan diri pada Allah swt.
  3. Hendaklah bersegera mencari ilmu pada masa mudanya dan selama hayatnya lantaran waktu terus berjalan dan tak pernah kembali.
  4. Hendaklah puas dengan pakaian dan kuliner yang ada.
  5. Hendaklah membagi waktu siang dan malam.
  6. Wara’ dalam setiap keadaan dan makanan, minuman, pakaian serta tempat tinggalnya.
  7. Hendaknya menyedikitkan tidurnya sepanjang tidak membawa dampak jelek bagi kesehatan jasmani.
  8. Hendaknya meninggalkan al-Isyrakh (pergaulan yang membuang-buang waktu) lantaran sesungguhnya meninggalkannya termasuk sesuatu yang lebih penting, yang seharusnya dilakukan oleh penuntutilmu.
Pada hakikatnya, yang wajib berguru yaitu akseptor didik, sedangkan guru bertugas membimbingnya, berperan sebagai penunjuk jalan dalam belajar. Seorang akseptor didik yang berguru tanpa bimbingan atau isyarat dari guru, apalagi yang dipelajari yaitu banyak sekali disiplin ilmu, bisa jadi ia tidak akan memperoleh ilmu itu. Karena berguru merupakan proses panjang, maka al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Abidin Ibnu Rusn (2020: 77-78) menyarankan semoga akseptor didik/peserta didik sebagai langkah pertama dalam belajarnya harus mensucikan jiwa dari sikap buruk, sifat-sifat tercela, dan budi pekerti yang rendah, ibarat marah, dengki, hasud, ujub, takabur, riya, dll.

Dari pemaparan sederhana diatas terlihat, bahwa pendapat para andal pendidikan lebih cenderung bersifat akhlaqi artinya etika yang harus dimiliki oleh akseptor didik lebih mengedepankan budbahasa dan moral. Pada akibatnya diaharapkan para akseptor didik akan menjadi generasi yang cerdas yang berakhlak mulia.
           
Demikian Nilai Pendidikan QS Al Kahfi Ayat 66-70 Bab III ihwal pandangan para andal pendidikan mengenai peranan guru dalam membimbing akseptor didiknya. Terima kasih atas kunjungannya dan semoga bermanfaat.

       

Belum ada Komentar untuk "Terbaru Pandangan Para Jago Pendidikan Ihwal Qs. Al Kahfi Ayat 66-70 Kepingan Iii"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel