Esensi Pendidikan Qs. Al Kahfi Ayat 66-70 Belahan 4

Esensi Pendidikan QS. Al Kahfi Ayat 66-70 Bab 4 - Kandungan al-Qur’an yang sangat luas dan dalam, bagaikan lautan yang tak pernah habis dikaji dan di teliti oleh manusia. Diantara kisah yang terdapat dalam al-Quran yaitu kisah perjalanan Nabi Musa as. Dan Nabi Khidir as. yang tercantum dalam surat al-Kahfi ayat 66-70.

Kisah ini sangat erat berkaitan dengan pendidikan lantaran merupakan sebuah interaksi yang mengandung unsur pendidikan. Adapaun interaksi, sanggup disebut interakasi edukatif, apabila mempunyai beberapa unsur dasar, diantaranya ialah: tujuan pendidikan yang akan dicapai, pendidik, akseptor didik, dan metode tertentu untuk mencapai tujuan. Adapun esensinya yaitu:

Pertama, dalam hal tujuan pendidikan. Pendidikan Islam bertujuan untuk membimbing insan semoga berakhlak mulia, terampil, cerdas, bertanggung jawab atas keselamatan dan kemaslahatan dirinya dan masyarakat. Dan dari kisah Nabi Musa dan Khidir, pada pertemuan pertama antara Nabi Musa dan Khidir sanggup dipaparkan asal-usul Musa. Latar belakang Musa ini kiranya menjadi materi masukan bagi Nabi Khidir dalam merumuskan tujuan pendidikan, yakni training akhlak, dari kesombongan berbalik menjadi tawadhu (rendah hati) dalam situasi bagaimanapun.

M. Athiyah Al-Abrasi, sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung (2004: 51) mengemukakan, ada 5 (lima) tujuan yang ingin dicapai dengan pendidikan Islam, yakni
  1. Membentuk budi pekerti yang baik
  2. Mempersiapkan kehidupan dunia dan darul abadi sekaligus
  3. Memperhatikan segi-segi manfaat
  4. Mengkaji ilmu semata-mata untuk ilmu itu saja
  5. Mempersiapkan anak didik berkarya praktek dan berproduksi sehingga sanggup bekerja, menerima rezeki, hidup dengan terhormat, serta tetap memelihara segi-segi kerohanian dan keagamaan.      
Kedua, akseptor didik. Pendidikan berjalan dengan baik apabila kesediaan dan kesetiaan antara akseptor didik dan guru, semoga akseptor didik sanggup mempunyai ilmu, ia dituntut untuk mempunyai sifat-sifat tertentu.
Maka jelaslah bahwa kisah Nabi Musa as. tersebut memperlihatkan tamsil pada kita bahwa seorang akseptor didik harus berusaha untuk mempunyai kriteria-kriteria tersebut diatas.

Sebelum Nabi Musa as. berangkat mencari Nabi Khidir as. dia memerintahkan semoga menyediakan seekor ikan yang besar kemudian di simpan pada sebuah kantong sebagai suatu tanda. Bila ikan itu hilang, maka disitulah Nabi Khidir tinggal. Dari insiden tersebuit tercermin bahwa mencari ilmu kita harus menyediakan bekal, semoga kita bisa bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu tersebut.

Sopan santun terhadap guru dan berendah diri kepadanya tercermin dari permohonan Musa kepada Nabi Khidir, “bolehkah saya mengikutimu semoga kau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”. Dari uraian ini berdasarkan penulis sanggup diambil garis merah bahwa esensi pendidikan yang terkandung dalan ayat ini menjadi pelajaran semoga akseptor didik mempunyai motivasi yang tinggi dan mempunyai perilaku sopan santun dan berendah diri.

Ketiga, Pendidik. Pendidik/Guru ialah salah satu komponen pendidikan yang memegang peranan penting dalam membantu dan mengarahkan anak didik. Sebagai seorang guru yang digugu dan ditiru, maka ia di tuntut mempunyai karakteristik yang baik untuk mempengaruhi anak didiknya.

M. Athiyah Al-Abrasi, Sebagaimana dikutip oleh Abidin Ibn Rusn (2020: 65) merumuskan bahwa seorang guru harus mempunyai beberapa sifat, yaitu:
  1. Zuhud, tidak mengutamakan materi dan mengajar lantaran mengharap keridhaan Allah semata.
  2. Kebersihan guru baik jasmani maupu rohani.
  3. Ikhlas dalam pekerjaan,
  4. Suka pemaaf.
  5. Merupakan seorang bapak sebelum ia jadi guru,
  6. Mengetahui tabi’at akseptor didik, dan
  7. Menguasai materi pelajaran.
Pandangan insan terhadap masalah yang mistik akan berbeda dengan pandangan Allah atau orang yang telah diajari-Nya. Nabi Khidir hanya mengingatkan akan disiplin yang pernah disepakatinya. Ia tidak berlaku sombong dengan ilmu yang dimilikinya. Keinginan Nabi Khidir akan keselamatan dan kebaikan Nabi Musa sebagai pembawa risalah kepada kaumnya, tercermin dari kesediaan dia mendapatkan kembali Musa berguru dengannya untuk melanjutkan perjalanan.

Dari uraian ini sanggup kita rumuskan bahwa kisah Musa memperlihatkan adanya unsur pendidikan, dimana Khidir sebagai seorang pendidik mengenali masalah yang dihadapi oleh akseptor didiknya, mempunyai perilaku kasih sayang, lemah lembut dan sabar, pemaaf dan menguasai materi palajarannnya dimana Musa tidak mengetahui apa yang diajarkan oleh Khidir. Disamping itu kisah ini juga memperlihatkan pelajaran kepada para kaum muslimin akan adat yang harus dipegangi baik sebagai muslim secara personal maupun ketika ia menerima peranan sebagai guru.

Keempat, Metode Pendidikan. Metode pendidikan merupakan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Metode pendidikan ini bermacam-macam. Menurut Abdurrahman al-Nahlawi  (1989: 283) diantara metode yang terpenting ialah:
  1. Metode hiwar (percakapan) Qurani dan Nabawi
  2. Mendidik dengan kisah-kisah Qurani dan Nabawi
  3. Mendidik dengan amtsal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi.
  4. Mendidik dengan memperlihatkan uswah hasanah (teladan yang baik)
  5. Mendidik dengan dengan penyesuaian diri dan pengamalan
  6. Mendidik dengan mengambil ibrah (pelajaran) dan mau’idhah (peringatan)
  7. Mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut)
Dari beberapa metode diatas gotong royong metode pendidikan apa yang digunakan oleh Khidir dalam mendidik Musa?. Pertama-tama sebelum Nabi Khidir memilih metode yang digunakan dalam proses pendidikan yang akan dilaksanakannya, terlebih dahulu dia bertanya pada akseptor didiknya dalam hal ini Nabi Musa perihal asal-muasalnya, kedudukan dan tujuan kedatangannya. Perlakuan Nabi Khidir yang demikian itu kuat sekali dalam memilih metode yang digunakan.

Dalam ekspedisinya dengan Nabi Khidir, Musa berkali-kali bertanya kepadanya perihal pelajaran yang belum berhak dipelajarinya secara tergesa-gesa. Namun Nabi Khidir menegurnya dengan tenang bahwa akseptor didiknya ini tidak akan bersabar. Dari insiden tersebut terlihat bahwa metode yang digunakan oleh Nabi Khidir ialah membiasakan diri semoga tidak tergesa-gesa dalam menghukumi sesuatu, berdasarkan pada ilmu yang dimilikinya.
 
Disamping itu terlihat juga Nabi Khidir menegakkan disiplin dengan berusaha untuk membuktikan apa yang disepakatinya sebelum pemberangkatan. Dari hal ini terlihat bahwa Nabi Khidir memakai metode uswah hasanah atau memberi suri tauladan yang baik, yaitu selalu berdisiplin, menepati janji, dan sadar akan tujuan. Ajaran tersebut merupakan potongan dari adat yang baik, dan sanggup diambil sebagai pedoman bagi masyarakat muslim semoga selalu disiplin, menepati kesepakatan dan lain-lain.

Kelima, situasi pendidikan. Pada dasarnya pendidikan itu ialah suatu proses interaksi antara pendidik dengan akseptor didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Proses interaksi tersebut dimungkinkan oleh kenyataan bahwa insan ialah makhluk yang mempunyai sifat sosial yang besar. Setiap proses interaksi terjadi dalam ikatan suatu situasi, tidak dalam alam hampa. Diantara banyak sekali jenis situasi itu terdapat situasi yang terdapat satu jenis situasi khusus, yakni situasi pendidikan atau situasi edukatif .

Kalau kita simpulkan bahwa dalam situasi pendidikan perasaan kasih sayang itu bukanlah hanya didapatkan dari kedua orang tua, melainkan juga dari segenap pendidik yang mengadakan kekerabatan dengan para akseptor didiknya. Kalau kita tilik kembali kisah Nabi Musa dan Khidir dalam perlawatan keduanya tercermin adanya situasi pendidikan. Situasi tersebut sanggup terlihat dari obrolan diantara mereka berdua.

Sebelum terjadi perlawatan terjadi persetujuan semoga Musa tidak bertanya, lantaran semua akan dijelaskan nanti. Akan tetapi lantaran perbuatan gurunya bertolak belakang dengan syari’at yang dianjurkan dan diserukannya, maka setiap terjadi keganjilan, pada dikala itu pula ditanyakan. Perbedaan pandangan ini dimengerti oleh gurunya, namun bagaimanapun ia harus mengingatkan kedisiplinan akseptor didiknya. Dengan sabar dan lemah lembut Nabi Khidir mengingatkan akseptor didiknya.

Tegur sapa Nabi Khidir terhadap akseptor didiknya selama perlawatan tersebut disampaikan dengan lemah lembut dan sabar. Dan menyimak obrolan yang terjadi antara Musa dan Khidir tercermin suatu situasi yang edukatif, yang menonjol dalam interaksi itu ialah peranan guru dengan sifat dan sikapnya yang positif, mirip kasih sayang, sabar, terbuka, dan menghargai anak didik sebagai pribadi yang mempunyai harga diri serta rendah diri, dan ini harusnya menjadi pola bagi kaum muslimin khususnya bagi seorang pendidik/guru bagaimana adat yang diterapkan Khidir tersebut bisa kita aplikasikan dalam kegiatan belajar-mengajar kita sehari-hari.

B. Nilai-nilai Pendidikan yang Terkandung Pada Q.S al-Kahfi ayat 66-70 Tentang Peran Pendidik dalam membimbing Peserta Didik.
 
Sebagaimana disebutkan pada episode pertama, betapa kuat tekad Nabi Musa as. untuk bertemu dengan Nabi Khidir as. Dengan bekal kemauan kerasnya, alhasil Nabi Musa sanggup bertemu dengan orang yang dicarinya.

Ketika Nabi Musa dan akseptor didiknya kembali lagi menuju watu besar kawasan menghilangnya ikan yang dibawa akseptor didiknya, mereka bertemu dengan hamba Allah yang dicari-cari, ia mengenakan pakaian serba putih. Nabi Musa pun segera mengucapkan salam. Khidir berkata, “Benarkah ada kedamaian di negerimu?” Musa menjawab, “Aku ini Musa, Musa dari Bani Israil ?” tanya Khidir. “Ya” jawab Musa, “Bolehkah saya mengikutimu supaya kau mengajarkan saya sesuatu yang telah diajarkan Allah kepadamu untuk saya jadikan pedoman dalam urusanku ini, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. “Khidir menjawab, “Sesungguhnya kau tidak akan sanggup sabar bersamaku, Musa. Karena sungguh saya mempunyai ilmu dari Allah yang tidak kau ketahui, dan kau pun mempunyai ilmu dari Allah yang telah Dia ajarkan kepadamu dan saya mengetahuinya.”

Lebih lanjut Nabi Khidir berkata, “Bagaimana kau sanggup bersabar? Engkau ialah seorang Nabi yang akan menyaksikan apa-apa yang saya lakukan, yang pada lahirnya merupakan kemunkaran, sedang hakikatnya belum engkau ketahui, kemudian Musa berkata, insya Allah kau akan mendapatiku sebagian orang sabar dalam menyertaimu tanpa mengingkari kamu, dan saya tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan yang kau perintahkan kepadaku, yang tidak bertentangan dengan zahir dari perintah Allah. Kemudian Khidir berkata, “Bila kau berjalan bersamaku, janganlah kau bertanya kepadaku perihal sesuatu yang tidak kau setujui terhadapku, sebelum saya terangkan kepadamu segi kebenarannya. Sungguh saya tidak akan melaksanakan sesuatu kecuali yang benar dan dibolehkan syariat. Syarat dari Nabi Khidir itu diterima Nabi Musa demi memelihara kesopanan seorang akseptor didik terhadap gurunya.

Dari rangkaian kisah yang termaktub pada Q.S al-Kahfi ayat 66-70 diatas berdasarkan penulis terdapat beberapa nilai/pelajaran yang sangat menarik kalau dikaitkan dengan pendidikan. Adapun nilai-nilai pendidikannya yang sanggup kita petik adalah:

1.    Kode etik/akhlak yang berafiliasi dengan permohonan menjadi akseptor didik.

Dalam hal ini, hendaknya seorang calon akseptor didik memperlihatkan keseriusannya dengan ungkapan sopan dan tawadhu. 

 bagaikan lautan yang tak pernah habis dikaji dan di teliti oleh insan   Esensi Pendidikan QS. Al Kahfi Ayat 66-70 Bab 4

Menurut Quraish Shihab (2008: 98) Penambahan karakter ta pada kata attabi’uka mengandung makna kesungguhan dalam upaya mengikuti itu. Memang demikianlah seharusnya seharusnya seorang pelajar, harus bertekad bersungguh-sungguh mencurahkan perhatian, bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya. Artinya, bahwa seorang pelajar harus mempunyai motivasi yang tinggi dalam belajar.

Berkaitan dengan adat yang harus dimiliki oleh akseptor didik, Syekh al-Jarnuzi (1995: 37) menyatakan, bahwa seorang murid harus sungguh-singguh dalam belajar, harus tekun. Sebagaimana firman Allah Q.S al-Baqarah ayat 218:

Artinya:
“Dan orang-orang yang berjihad/berjuang sungguh-sungguh untuk mencari (keridhaanku), maka benar-benar Aku akan tunjukkan mereka kepada jlan-jalan menuju keridhaanku”. (Depag RI. 1979: 53)

Al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Abidin Ibnu Rusn (2020: 76) menjelaskan beberapa langkah dan kiprah yang harus dipenuhi oleh Peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu:
  • Belajar merupakan proses jiwa. Pada hakikatnya yang wajib mencar ilmu ialah murid, sedangkan pendidik berperan sebagai membimbing dan penunjuk jalan dalam belajar.
  • Belajar menuntut konsentrasi.
  • Belajar harus didasari sifat tawadhu. Murid harus mempunyai sifat tawadhu terhadap ilmu dan guru, sebagai mediator diterimanya ilmu itu. Karena takabur terhadap ilmu bukanlah perilaku murid yang akan menyebarkan ilmunya.
  • Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang dipelajari.

Selanjutnya seorang calon akseptor didik dituntut memosisikan diri sebagai orang yang butuh, bukan sebaliknya. Lebih lanjut, seorang akseptor didik harus menyadari bahwa ia mustahil bisa menyerap semua ilmu gurunya.

2.     Pendidik harus mengetahui minat dan talenta yang dimiliki Peserta Didik.

Pendidik harus sanggup menempatkan diri sebagai orang bau tanah kedua, dengan mengemban kiprah yang dipercayakan orang tua/wali anak didik dalam jangka waktu tertentu. Untuk itu pemahaman terhadap jiwa dan watak anak didik dibutuhkan semoga sanggup dengan gampang memahami jiwa dan watak anak didik. Salah satunya sebelum dimualinya interaksi belajar-mengajar pendidik harus mengetahui minat belajarnya. Karena minat, bakat, kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh akseptor didik tidak akan berkembang tanpa derma guru.

Minat besar pengaruhnya terhadap acara belajar. Anak didik yang berminat terhadap suatu mata pelajaran akan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Minat merupakan alat motivasi yang utama yang sanggup membangkitkan kegairahan mencar ilmu akseptor didik. Oleh lantaran itu, pendidik perlu membangkitkan minat anak didik.

Minat ialah kecenderungan yang menetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa aktivitas. Dengan kata lain, minat ialah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh (Djamarah, S.B. 2008: 166)

Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1989: 583) pengertian minat ialah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu, gairah dan keinginan.

Minat ialah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang diperhatikan terus-menerus yang disertai dengan rasa bahagia (Slameto, 1991: 57)

Minat dalam pendidikan sanggup dirumuskan lebih khusus yaitu pilihan di antara beberapa kemungkinan kegiatan yang dipandang akan memuaskan kebutuhan pendidikannya (Zainudin Arif, 1994: 16)

Sedangkan talenta atau aptitude ialah kemampuan bawaan untuk belajar. Kemampuan itu gres terlaksana menjadi kecakapan yang konkret setelah mencar ilmu atau berlatih (Slameto, 1991: 57)

Kenyataan ini bisa ditarik dari tes sebagaimana yang diajukan Nabi Khidir kepada Nabi Musa. Sebagaimana Q.S al-Kahfi ayat 2:

“Sesungguhnya engkau tidak akan bersabar bersamaku.”

Ayat diatas menjadi petunjuk semoga pendidik melaksanakan tes minat dan bakat. Dan Khidir pun gres mendapatkan Musa sebagai akseptor didik setelah ia mendengar keseriusan Musa, walaupun ia memprediksi, Musa tidak mempunyai talenta dalam bidang ilmu yang dimilikinya (Ahmad, EQ. N. 2007: 185)

Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Fathiyyah Hasan Sulaiman (1986: 74) menyatakan bahwa pendidik diibaratkan seorang dokter yang akan mengobati pasiennya.
         ” Pendidik hendaknya tidak membebani mereka dengan banyak sekali latihan dan kiprah dalam bidang khusus sebelum ia (pendidik) mengetahui penyakit, keadaan, usia, watak dan motivasi pendidikannya.

Selanjutnya Al-Ghazali berkata: “Apabila pendidik melihat bahwa anak merasa bangga, sombong, dan merasa mulia, maka hendaknya ia menyuruh anak itu supaya pergi ke pasar-pasar untuk meminta-minta Perasaan mulia diri dan egois itu hanya akan lenyap dengan mencicipi kehinaan.

Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2002: 167) beberapa cara untuk membangkitkan minat anak didik sebagai berikut:
  • Membandingkan adanya suatu kebutuhan pada diri anak didik, sehingga dia rela mencar ilmu tanpa paksaan.
  • Menghubungkan materi pelajaran yang diberikan dengan problem pengalaman yang dimiliki anak didik, sehingga anak didik gampang mendapatkan materi pelajaran.
  • Memberikan kesempatan kepada anak didik untuk mendapatkan hasil mencar ilmu yang baik dengan cara menyediakan lingkungan mencar ilmu yang kreatif dan kondusif.
  • Menggunakan banyak sekali macam bentuk dan teknik mengajar dalam konteks perbedaan individual anak didik.
Dari klarifikasi diatas, penulis menyimpulkan, bahwa yang harus jadi prioritas seorang pendidik dalam mendapatkan calon akseptor didiknya itu bukan talenta dulu, tetapi minat. Sebab, bisa jadi walaupun seseorang tidak mempunyai bakat, tetapi lantaran ia mempunyai minat yang tinggi, alhasil ia akan berhasil menguasai ilmu tersebut, walaupun memang dalam kasus kisah ini, Musa yang hanya mengandalkan minat tidak berhasil mencapai apa yang dicita-citakannya.

3.     Pendidik harus melaksanakan kontrak mencar ilmu setelah mengetahui minat dan talenta Peserta didik

Setelah seorang guru mengetahui minat dan talenta calon akseptor didiknya, seorang pendidik harus segera melaksanakan kontrak mencar ilmu dengannya. Kontrak mencar ilmu ini dalam episode kedua sanggup terlihat dari ayat:

Artinya:
“jika kau mengikutiku, janganlah kau menanyakan kepadaku perihal sesuatu apapun, hingga saya sendiri menerangkannya.”

Kontrak mencar ilmu ini pada proses pembelajaran selanjutnya akan menjadi peraturan yang mengikat antara guru dengan akseptor didiknya. Jika dalam proses pembelajaran tanpa ada kontrak belajar, bisa jadi akan mengakibatkan ketidakseriusan, baik di pihak pendidik maupun akseptor didik.

Secara manusiawi, ketika seseorang tidak mengetahui diam-diam di balik sesuatu, ia tidak akan sanggup menahan kesabaran, sehingga akan sulit baginya menemukan sesuatu yang tidak ia pahami maknanya. Hal inilah bisanya dikhawatirkan oleh seorang guru. Oleh lantaran itu, seharusnya seorang akseptor didik menyadari bahwa untuk mengetahui diam-diam dari sesuatu memerlukan waktu cukup panjang, sehingga tidak selayaknya ia ingin segera tahu dengan mengobral pertanyaan.

4.     Pendidik hendaknya memahami tingkat pemikiran dan pemahaman (intelektual) akseptor didik

Akal dan pengetahun setiap orang berbeda-beda, baik dari satu individu terhadap individu lainnya, ataupun antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Begitu pula kiprah seorang pendidik harus memahami tingkat intelektual akseptor didiknya.

Menurut Syamsu Yusuf (2006: 202) dalam kiprah kiprahnya pendidik harus memahami perbedaan dalam kecerdasan, prestasi belajar, perilaku dan kebiasaan belajar, motivasi belajar, karakter, minat, ciri-ciri fisik, kemampuan dalam berkomunikasi, kemandirian, kedisiplinan da tanggung jawab.
    Hal ini diisyaratkan dalam firman Allah Q.S al-Kahfi ayat 68:

Artinya:
“Dan bagaimana engkau sanggup sabar atas sesuatu, yang engkau belum jangkau secara menyeluruh beritanya?”

Menurut Quraish Shihab (2002: 99) ucapan hamba Allah Nabi Khidir: “Dan bagaimana engkau sanggup sabar atas sesuatu, yang engkau belum jangkau secara menyeluruh beritanya?” memberi instruksi bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun dan memahami tingkat pemahaman dan kemampuan anak didik, dan memberitahukan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu.

Al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Abidin Ibnu Rusn (2020: 73) mengingatkan semoga guru memberikan ilmu pengetahuan dalam proses belajar-mengajar sesuai tingkat kemampuan pemahaman murid. Al-Ghazali berkata:
“Guru hendaklah merangkumkan bidang studi, berdasarkan tenaga pemahaman murid. Jangan diajarkan bidang studi yang belum hingga kesana. Nanti ia lari atau otaknya tumpul.”

Pendapat diatas memberi pengertian, bahwa sebelum guru mengajarkan pengetahuan sesuai tingkat kecerdasan mereka, maka seorang guru terlebih dahulu harus bisa mengukur tingkat kecerdasan murid.

Dalam kiprah dan peranannya, guru hendaknya berusaha semaksimal mungkin untuk menjelaskam sesuatu permasalahan memakai lafal-lafal dengan ungkapan yang terang dan sanggup dipahami sesuai dengan tingkat pemahaman para muridnya. Hal ini dilakukan semoga tidak terjadi resah dan tidak menyulitkan guru dalam mengajarkan mereka. Hakikat sesuatu akan hilang darinya kalau diketahui orang itu tidak memahami penjelasannya (Al-Syalhub, F. 2006: 108)
Menurut Muhammad Arifin (1989: 80) kemampuan psikologis dalam mendapatkan dan menghayati serta mengamalkan pemikiran agama sesuai dengan usia, talenta dan lingkungan hidupnya. Seperti sabda Nabi Muhammad saw. yang menyatakan bahwa kita harus sanggup berbicara kepada insan sesuai dengan tingkat kemampuan nalar pikirannya.

Murid ialah individu yang unik. Keunikan itu bisa dilihat dari adanya perbedaan. Artinya, tidak ada individu yang sama. Walaupun secara fisik mempunyai kemiripan, tetapi pada hakikatnya tidaklah sama, baik dalam bakat, minat, dan kemampuannya (Sanjaya, W. 2007: 25)

Dalam kiprahnya sebagai pendidik, Rasulullah saw. tidak pernah mempersulit, dengan harapan para sobat mempunyai motivasi yang kuat untuk tetap meningkatkan acara belajar. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

Artinya:
“Hadis Muhammad ibn Basysyar katanya hadis Yahya ibn Sâ’id katanya hadis Syu’bah katanya hadis Abu Tayyâh dari Anas ibn Malik dari Nabi saw. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: Mudahkanlah dan jangan mempersulit. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam suka memperlihatkan dispensasi kepada manusia” (al-Bukhari, I: 38)
 
Dari  hadis tersebut diatas sanggup kita pahami, bahwa betapa pentingnya seorang pendidik memperlihatkan fasilitas bagi akseptor didik yang mempunyai kesungguhan dalam belajar, dalam arti mengajarkan ilmu pengetahuan harus mempertimbangkan kemampuan sipelajar.
Dari klarifikasi diatas penulis menyimpulkan, bahwa terdapat perbedaan tingkat kecerdasan dan pemahaman murid-murid, antara individu yang satu dengan yang lain.

Selanjutnya kecerdasan seorang guru/pendidik terletak pada kemampuannya dalam memberikan ilmu kepada muridnya sesuai dengan kemampuan murid tersebut, bukan pada kemampuan dalam memaparkan nash dan dalil, serta banyaknya problem yang ia kuasai.
 
5.    Pendidik hendaknya memperlihatkan kesempatan bertanya kepada akseptor didik

Bertanya sanggup menghindari kesalahan dan kesamaran yang terkadang ada pada seorang murid. Ketika seorang guru telah selesai menjelaskan pelajaran, ia tidak mengetahui apakah seluruh muridnya sudah memahami pelajaran yang ia terangkan seluruhnya atau tidak. Cara untuk mengetahui hal itu ialah dengan bertanya kepada mereka perihal sebagian apa yang di jelaskannya. Namun cara yang lebih baik ialah dengan terlebih dahulu memberi kesempatan kepada muridnya untuk bertanya perihal potongan pelajaran yang sulit di pahami. Melalui pertanyaan, makna-makna tertentu yang tidak ia pahami dan mengerti sanggup menjadi lebih jelas. Hal ini telah dikatakan oleh sang guru pertama Rasulullah saw.;


    Artinya:
Dari Anas bin Malik, bahwasannya orang-orang bertanya kepada Nabi saw. hingga mereka mendesak beliau  untuk menjawab pertanyaan tersebut. Lalu pada suatu hari dia pun keluar dan naik ke atas mimbar. Kemudian dia bersabda, ”bertanyalah kepadaku! Tidaklah kalian bertanya kepadaku, melainkan akan saya jelaskan jawabannya kepada kalian”.
 
Pada hadits diatas adapat kita lihat bagaimana seorang guru dianjurkan untuk mengucapkan, ”Bertanyalah kepadaku!”. Ungkapan ini ialah perinatah bagi murid untuk mengajukan pertanyaan. Ungkapan ini pula memperlihatkan kepada murid pemalu semoga berani bertanya kepada gurunya, dan ungkapan ini bermanfaat bagi guru untuk mengetahui tingkat pemahaman seorang murid terhadap pelajaran yang telah diterangkannya.

Selanjutnya sosok Yusa’ sudah tidak lagi diceritakan pada ayat ini. Kenyataan tersebut bisa disebabkan kiprah Yusa’ hanya mengantar Nabi Musa hingga bertemu dengan orang yang dicarinya. Setelah itu, lantaran posisinya sebagai asisten, ia harus kembali kepada komunitas Bangsa Israil guna menunaikan tugasnya menggantikan posisi Musa sebagai guru ditengah-tengah masyarakat Bani israil selama guru besarnya menunaikan kebutuhannya dalam belajar.

Kalau di tarik pada kontek pendidikan, citra dalam kisah di atas memperlihatkan kesan bahwa ketika seorang guru pergi menunaikan hajatnya, baik untuk mencar ilmu atau kepentingan lainnya, maka ia jangan membiarkan akseptor didik-peserta didiknya terbengkalai. Konsekuensi logisnya, ia dituntut untuk mengangkat seorang tangan kanan panggantinya selama ia berhalangan hadir.

Dalam pengangkatan tangan kanan hendaknya tidak dilakukan secara asal-asalan. Minimal seorang tangan kanan harus mempunyai kualifikasi yang memadai. Kenyataan ini digambarkan dengan sosok Yusa’ yang mempunyai kualifikasi cukup memadai untuk menggantikan Musa, bahkan berdasarkan para mufasir, Yusa’lah orang yang menggantikan posisi Musa setelah Nabi Musa wafat.

Lebih lanjut, tangan kanan ini bisa jadi merupakan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam upaya kaderisasi. Sebab, dipungkiri atau tidak, betapapun pintarnya seseorang, suatu waktu ia pasti wafat. Seandainya semasa hidupnya tidak melaksanakan kaderisasi melalui sistem asistensi, ketika wafat tidak ada lagi orang yang bisa meneruskan jejaknya secara berkesinambungan.

C. Mendidik dengan Sepenuh Hati

Pendidikan formal mempunyai peranan sangat penting ketika keluarga tidak lagi bisa memperlihatkan pendidikan yang layak dan sesuai kepada anak-anaknya. Pada alhasil forum ini diterima sebagai wahana proses pemanusiaan kedua setelah keluarga.

Dalam perjalanannya, ternyata tidak ada pendidikan formal yang sangat netral dan maksimal dalam prosesnya secara profesional. Ini ditandai dengan adanya praktik pendidikan yang kurang menghargai atau mengabaikan mulut kebebasan akseptor didik.

Pendidikan yang menghargai atau membebaskan itu tidak sanggup direduksi hanya sekadar perjuangan dalam memaksakan kebebasan kepada para akseptor didik. Adapun pendidikan yang membelenggu itu sanggup memperlihatkan pengalaman yang kurang baik kepada akseptor didik sehingga mereka mengikuti jalan kehidupan ini dan mendapatkan realitas tanpa filter yang selektif.

Seyogianya sebuah forum pendidikan harus menempatkan akseptor didik sebagai seorang insan yang sedang mengalami pemetaan (inkubasi) dan berproses untuk menjadi insan yang siap berkarya di tengah-tengah masyarakat.

Anak ialah calon agent of change (penyebab perubahan) dan teladan di masyarakat, yang menuntun dan memperlihatkan pencerahan bagi masyarakat yang haus keilmuan dan rindu seorang teladan. Karena itu, forum pendidikan sebagai lingkungan pemanusiaan kedua setelah keluarga harus mengindahkan hal ini dengan membuat suasana sistem yang aman dan kooperatif bagi segenap komponen forum dan akseptor didik sebagai salah satunya.

Dalam hal ini, pendidik merupakan sosok yang mempunyai peranan yang sangat penting, yang tidak kalah pentingnya dari sistem yang menaunginya. Dia merupakan pelaku pendidikan yang berinteraksi dengan akseptor didik secara langsung. Karena itu, upaya untuk mencetak pendidik profesional yang mempunyai futuristic mind (budi pekerti) menjadi sebuah keniscayaan demi perubahan kualitas pendidikan yang lebih baik.

Pendidik sebagai penyampai pengetahuan harus mempunyai karakter rabbaniyah dan nubuwwah dalam menjalankan profesinya. Mendidik dengan sepenuh hati atau kesadaran spiritual yang luhur menjadi sebuah tuntutan.

Mendidik dengan sepenuh hati ialah wujud konkret dari sebuah profesionalisme kerja. Perjuangan dalam pendidikan yang dimulai dengan sebuah kekuatan komitmen terhadap tujuan ideal pendidikan akan melahirkan para mujahid sejati yang berbuat  bukan lantaran materi semata, melainkan kesadaran diri dalam mencetak generasi muda yang terpelajar dan berakhlak.

Kita suka berpikir bahwa hal ini mustahil terjadi kalau tidak diimbangi dengan penghargaan yang sepenuh hati juga. Ada dua dimensi yang harus kita lihat.
  • Pertama, dimensi realitas ideologis. Dalam dimensi ini setiap orang membuat dan merancang definisi dan kriteria mendidik sepenuh hati. Namun mereka kadang hanya pelopor dan tidak mengalami, bahkan mencoba sekalipun.
  • Kedua, dimensi realitas objektif. Yang kedua ini merupakan komunitas atau sosok pelaku atau pejalan. Mereka menikmati dan menghayati apa yang mereka lakukan. Mereka tidak terjebak pada tataran teoretis saja sehingga mereka menjadi acquired knowledge human dan bukan perennial knowledge human.
Sosok pendidik sepenuh hati merupakan insan yang bisa mengoordinasikan nalar dan pikirannya sehingga semua acara yang dilakukannya merupakan produk yang bernilai tidak hanya amal baik, tetapi lebih tinggi dari itu yaitu ibadah (amal saleh).

Pendidik sepenuh hati menyerupai kujang dengan dua sisi yang mempunyai ketajaman yang sama. Sisi hablum minan naas, dia penuhi dengan segenap kemampuan yang dia miliki dan menghargai banyak sekali kecerdasan yang ada pada para akseptor didik (IQ, EQ, SQ) sementara pada sisi habluminallah ia selalu berusaha menyelaraskan nalar dan pikirannya sehingga semua yang dilakukannya menjadi amal baik dan amal saleh.

Harapan idealnya ialah mirip itu walau kadang masih ada pendidik di sekolah-sekolah tertentu yang kurang menghargai kecerdasan para akseptor didiknya. Menganggap badung atau pengacau pada anak yang mempunyai kecerdasan kinestetik yang secara umum dikuasai atau anak terbelakang dan tulalit pada anak yang mempunyai gaya mencar ilmu silent way atau berkebutuhan khusus. Mereka dicap sebagai golongan anak yang nakal, trouble maker, atau idiot, padahal mereka merupakan makhluk Allah yang paling sempurna.

Berkaitan dengan hal itu, sudah sepatutnya seorang pendidik menambah wawasan keilmuannya dalam hal belajar-mengajar, baik teori maupun pendekatan, sehingga bisa membuat suasana mencar ilmu yang menyenangkan dan sanggup mengantarkan ilmu kepada para akseptor didik dengan lebih baik. Ketika pembelajaran dilaksanakan dalam kegembiraan, proses masuknya ilmu akan lebih gampang dan tidak ada kecanggungan di antara pendidik dan anak didik.
Itulah isi kandungan QS. Al Kahfi ayat 66-70 Bab IV perihal kiprah pendidik dalam membimbing akseptor didiknya. Terima kasih atas kunjungannya, semoga bermanfaat


Belum ada Komentar untuk "Esensi Pendidikan Qs. Al Kahfi Ayat 66-70 Belahan 4"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel