Nilai Pendidikan Islam Qs Al Kahfi Ayat 66 -70 Pecahan 2

Nilai Pendidikan Islam al Alquran Surat Al Kahfi Ayat 66 -70 Bab 2 - Apa kabar sobat ? mudah-mudahan selalu dalam bimbingan, lindungan dan hidayah Allah SWT, amiin. Skripsi ini saya susun ketika akan menuntaskan study S1 di sekolah tinggi Tinggi Islam Siliwangi Bandung. Dahulu INISI Bandung dengan kampusnya di Jl. Seram, Kota Bandung. Saya share mungkin ada yang berkhasiat terutama bagi teman-teman yang sedang menempuh S1 Pendidikan Agama Islam.

Nilai Pendidikan Islam al Alquran Surat Al Kahfi Ayat    Nilai Pendidikan Islam QS Al Kahfi Ayat 66 -70 Bab 2

Setelah saya bahas skripsi Bab I dengan judul Nilai Pendidikan Islam Surat Al Kahafi ayat 66-70, kali ini akan berbagi lanjutan karya ilmiah Bab I. Pada Bab II ini menjelaskan bagaimana pendapat para jago tafsir khususnya, ditambah oleh pakar-pakar pendidikan perihal esensi/kandungan yang terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 66-70 tentang peranan seorang pendidik dalam membimbing muridnya.

BAB II
PENDAPAT MUFASIRIN TENTANG KANDUNGAN Q.S AL-KAHFI AYAT 66-70


A. Teks dan terjemah

66.    Musa berkata kepada Khidir: “Bolehkah saya mengikutimu supaya kau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”

67.    Dia menjawab: “sesungguhnya kau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku”.

68.    Dan bagaimana kau sanggup sabar atas sesuatu yang kau belum mempunyai pengetahuan yang cukup perihal hal itu?”

69.    Musa berkata: “Insya Allah kau akan mendapati saya sebagai seorang yang sabar, dan saya tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun”.

70.    Dia berkata: “Jika kau mengikutiku, maka janganlah kau menanyakan kepadaku perihal sesuatu apapun, hingga saya sendiri menerangkannya kepadamu”.

B. Asbab al-Nuzul
 
Ungkapan asbab al-Nuzuul  merupakan bentuk idhafah dari kata asbab dan al-nuzul. Secara etimologi asbab al-Nuzuul  ialah sebab-sebab yang melatarbelakngi terjadinya sesuatu. Menurut Shubhi Shalih, sebagaimana yang dikutip oleh Rosihan Anwar (2004: 60) bahwa yang disebut asbab al-Nuzuul  ialah sesuatu yang menjadi alasannya turunnya satu atau beberapa ayat al-Quran yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika insiden itu terjadi.
  
Asbab al-Nuzuul  ialah sebagai “sesuatu hal yang karenanya al-Quran diturunkan untuk menerangkan status (hukum) nya, pada masa itu terjadi, baik berupa insiden maupun pertanyaan” (Khalil al-Qattan, M., 2020: 110).
  
Dari definisi Asbab al-Nuzuul  diatas memperlihatkan pengertian bahwa alasannya turun suatu ayat adakalanya berbentuk insiden dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat turun untuk menerangkan hal yang berafiliasi hal yang berafiliasi dengan insiden tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu.
  
Walaupun asbab al-Nuzuul merupakan ilmu perihal mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, tetapi tidak semua ayat dalam al-Quran mempunyai sebab, lantaran tidak semua al-Quran diturunkan lantaran timbul insiden atau lantaran pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat al-Quran yang diturunkan sebagai permulaan, tanpa alasannya menyerupai mengenai akidah, iman, kewajiban syariat Allah dan kehidupan pribadib sosial.
  
Karena tidak setiap ayat al-Quran tidak mengandung asbab al-Nuzuul , maka begitu pula yang terdapat pada surat al-Kahfi secara keseluruhan. Secara khusus ayat 66 hingga ayat 70 tidak ada alasannya turunnya, tetapi hanya berupa riwayat yang didalamnya terdapat kisah pertemuan Nabi Musa as. dengan Bani Israil sebelum Allah swt. mempertemukan Nabi Musa as.  dengan Nabi Khidir as.
  
Sebuah riwayat sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili (1991: 317 – 318) dalam kitabnya al-tafsiir al- Munir fil ‘aqidah wa syari’ah wal manhaj  diterima dari Ubay bin Ka’ab ra. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa pada suatu hari Nabi Musa as. berkhutbah dihadapan kaum Bani Israil. seusai memberikan khutbahnya, datanglah seorang pria bertanya: “Siapakah diantara insan ini yang paling pintar ?”.  Jawab Musa “Aku”. Lalu Musa ditegur oleh Allah lantaran tidak memulangkan jawaban kepada Allah, alasannya hanya Allah yang Maha berilmu. Kemudian Allah memberi wahyu kepada Musa bahwa ada orang yang lebih pintar dari dia, yaitu seorang pria yang sekarang berada dikawasan pertemuan dua laut. Mendengar wahyu tersebut, tergeraklah hati Musa a.s. untuk menuntut ilmu dan hikmat dari orang yang di sebut oleh Allah, bahwa dia ialah seorang hamba-Nya yang lebih pintar dari Nabi Musa as. yaitu Nabi Khidir as. Nabi Musa bertanya kepada Allah: “Ya Rabbi  bagaimanakah cara biar saya sanggup menjumpai orang tersebut ?”. Allah menjawab dengan firmannya: “bawalah seekor ikan dan taruhlah pada sebuah kantong sebagai suatu benda. Bila ikan itu hilang maka engkau akan menjumpainya disana”. Setelah mendengar keterangan tersebut, Nabi Musa segera menemui seorang cowok untuk dijadikan sobat dalam perjalanan tersebut dan menyuruhnya biar menyediakan seekor ikan sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah swt. kepadanya.
   
Menurut riwayat diatas maka dari sinilah dimulainya perjalanan Nabi Musa as. untuk menuntut ilmu dan hikmat dari orang yang di sebut oleh Allah swt., bahwa dia ialah seorang hamba-Nya yang lebih pintar dari Nabi Musa as. yaitu Nabi Khidir as.

C. Pendapat Mufasirin Mengenai Tafsiran Q.S. al-Kahfi ayat 66-70
 
1. Tafsir Ibnu Katsir
 
Ayat ke-66 ini menjelaskan bahwa ucapan Nabi Musa as. terhadap Nabi Khidir as. ialah ucapan yang lemah lembut (tanpa paksaan). Oleh lantaran itu wajib bagi seorang muta’allim (pelajar) apabila menanyakan sesuatu hal kepada mua’llim (guru) dengan ucapan yang lemah lembut. Kata attabi’uka ialah mengikuti dengan sungguh-sungguh.
        
Pada ayat ke-67 ini sebagai jawaban Nabi Khidir as. bahwa Nabi Musa as. tidak akan sanggup mengikuti Nabi Khidir as. dengan alasan sudut pandang keilmuan yang berbeda. Nabi Khidir as. diberi ilmu yang sifatnya batiniyah (dalam) sedangkan Nabi Musa as. diberi ilmu yang sifatnya lahiriah.

Ayat 68 ini menegaskan kepada Nabi Musa as. perihal alasannya Nabi Musa tidak akan bersabar nantinya kalau terus menerus menyertainya. Nabi Musa as. akan melihat kenyataan pekerjaan Nabi Khidir as. yang secara lahiriyah bertentangan dengan syariat Nabi Musa as. sehingga Nabi Musa as. mengingkarinya lantaran menganggap hal yang mustahil. Sedangkan secara batiniyah tidak mengetahui hikmahnya atau kemaslahatannya.
  
Nabi Musa as. berjanji tidak akan mengingkari dan tidak akan menyalahi apa yang dikerjakan oleh Nabi Khidir, dan berjanji pula akan melaksanakan perintah Nabi Khidir selama perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Allah swt.

Selanjutnya dalam ayat 70 : Nabi Khidir as. sanggup mendapatkan Nabi Musa as. dengan syarat: “Jika kau (Nabi Musa) berjalan bersamaku, maka janganlah kau bertanya perihal sesuatu yang saya lakukan dan perihal rahasianya, sehingga saya sendiri menerangkan kepadamu duduk persoalannya. Jangan kau menegurku terhadap sesuatu perbuatan yang tidak sanggup kau benarkan hingga saya sendiri yang mulai menyebutnya untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya.

2. Tafsir al-Maraghi

Nabi Musa as. dan pembantunya bertemu dengan seorang hamba Allah disamping kerikil besar. Ketika mereka kembali lagi kesana dan hamba itu ialah Nabi Khidir as. yang menggunakan baju putih. Lalu Musa memberi salam kepadanya dan Nabi Khidir menjawab: “apakah saya di negerimu ini akan menerima keselamatan ?”. Musa as. berkata; “sesungguhnya saya ini ialah Musa”, Nabi Khidir berkata “apakah Musa dari keturunan Bani Israil ? Musa menjawab: “ia benar”, kemudian Nabi Musa berkata: “apakah saya boleh mengikuti perjalananmu biar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu yang telah Allah ajarkan kepadamu ilmu yang akan kujadikan ptunjuk dalam hidupku, yaitu ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan amal perbuatan yang saleh.

Nabi Khidir menjawab undangan Nabi Musa as. : “Hai Musa sesungguhnya saya mempunyai ilmu yang diajarkan oleh Allah yang tidak kau ketahui, dan kau mempunyai ilmu dari Allah yang tidak saya ketahui. Kemudian Khidir memantapkan alasan ketidakmampuan Musa dengan bertanya kepadanya.

Ketidakmampuan Nabi Musa as. untuk bersabar dikuatkan dengan alasan akan tidak adanya ketaatan. Nabi Khidir berkata: “Dan bagaimana kau sanggup sabar atas sesuatu yang kau belum mempunyai pengetahuan yang cukup perihal hal itu? Dan bagaimana kau bersabar sedangkan engkau ialah nabi yang hanya mengetahui hal-hal yang nampak saja, sedangkan engkau tidak mengetahui keghaiban, dan lelaki saleh itu tidak mempunyai kesabaran apabila ia melihat hal-hal yang aneh, akan tetapi ia akan ingkar apabila melihatnya.

Kemudian Nabi Musa berkata: “bersamamu saya tidak akan ingkar atas apa yang engkau perintahkan kepadaku apabila hal itu tidak menyalahi syariat dan perintah Allah”.

Berkata Nabi Khidir as.: “Jika engkau ikut dalam perjalananku, maka kau akan memulai dengan sesuatu yang kau anggap ingkar terhadapnya, hingga saya sendiri yang memulai menjelaskan dan menerangkannya kepadamu perihal kebenarannya. Sesunguhnya saya tidak akan melaksanakan sesuatu kecuali kebenaran yang dibolehkan dalam urusan itu. Walaupun secara zahirnya tidak menyerupai itu. Kemudian Nabi Musa as. mendapatkan syarat tersebut untuk menjaga susila seorang murid terhadap gurunya.

3. Tafsir al-Mishbah

Kata (        ) khubran pada ayat ini bermakna pengetahuan yang mendalam. Dari akar kata yang sama lahir kata khabiir, yakni pakar yang dalam pengetahuannya  Nabi Musa as,  mempunyai ilmu lahiriah dan menilai sesuatu berdasar hal-hal yang bersifat lahiriah. Tetapi menyerupai diketahui, setiap hal yang lahir ada pula sisi batiniahnya, yang mempunyai peranan yang tidak kecil bagi lahirnya hal-hal lahiriah. Sisi batiniah inilah yang tidak terjangkau oleh pengetahuan Nabi Musa as. Hamba Allah swt. yang saleh secara tegas menyatkan bahwa Nabi Musa as tidak akan sabar, bukan saja lantaran Nabi Musa as. Dikenal berkepribadian sangat tegas dan keras, tetapi lebih-lebih lantaran insiden dan apa yang akan dilihatnya dari hamba Allah swt. yang saleh itu sepenuhnya bertentangan dengan hukum-hukum syariat.

Kata (                    ) attabi’uka asalnya ialah (                 ) dari kata
(          ) tabi’a, yakni mengikuti. Penambahan abjad ta pad kata attabi’uka mengandung makna kesungguhan dalam upaya mengikuti itu. Memang demikianlah seharusnya seharusnya seorang pelajar, harus bertekad bersunggug-sungguh mencurahkan perhatian, bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya.
  
Ucapan Nabi Musa as. ini sungguh sangat halus. Beliau tidak menuntut untuk diajar tetapi permintaannya diajukan dalam bentuk pertanyaan, “bolehkah saya mengikutimu?”. Selanjutnya dia menamai pengajaran yang diharapkannya itu sebagai ikutan, yakni dia mengakibatkan diri sebagai pengikut dan pelajar. Beliau juga menggarisbawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya secara pribadi, yakni untuk menjadi petunjuk baginya. Disisi lain, dia mengisyaratkan akan keluasan ilmu seorang hamba yang saleh itu sehingga Nabi Musa as hanya mengharap kiranya dia mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadanya. Dalam konteks itu nabi Musa as. tidak menyatakan “apa yang engkau ketahui wahai hamba Allah swt.”, lantaran dia seepenuhnya sadar bahwa ilmu bersumber dari satu sumber, yakni Allah swt. swt.  Yang Maha Mengetahui.
  
Kata (           ) tuhith terambil dari kata (                               ) ahaatha-yuhiithu, yakni melingkari. Kata ini digunakan untuk menggambarkan penguasaan dan kemantapan dari segala segi sudutnya bagaikan sesuatu yang melingkari sesuatu yang lain.
  
Ucapan hamba Allah swt. ini, memberi aba-aba bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, baahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jikalau sang pendidik mengetahui bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan ilmu yang akan dipelajarinya.
  
Hamba yang saleh itu berkata “sesungguhnya engkau sekali-kali tidak kan sanggup bersabar bersamaku”. Kata (         ) ma’iya/bersama saya mengandung alasannya ketidaksabaran itu. Dalam arti ketidaksabarannya bukan lantaran pengetahuan yang dimiliki oleh hamba yang saleh itu, tetapi dari apa yang dilihat oleh Nabi Musa as. Ketika bersama beliau. Ketika dia melihat pembocoran perahu, atau pembunuhan anak dan pembangunan kembali dinding — menyerupai akan terbaca nanti — apa yang dilihatnya itulah yang menjadi Nabi Musa as. tidak akan sabar, bukannya pengetahuannya perihal pembocoran bahtera biar menghindari penguasa yang lalim, atau bagaimana masa depan anak itu. Memang imbas pengetahuan terhadap jiwa berbeda dengan pengtahuan imbas penyaksian. Yang kedua jauh lebih dalam dan berkesan. Itu juga sebabnya ketika Nabi Musa as. pergi bermunajat kepada Allah swt. dan disana dia diberitahu perihal kedurhakaan kaumnya dengan menyembah anak lembu, dia belum terlalu marah, tetapi begitu kembali dan melihat kenyataan, maka amarahnya memuncak, dia menarik kepala saudaranya yakni Nabi Harun as.
  
Pada ayat berikut kita akan melihat bagaimana tatakrama Nabi Musa as. ketika menjawab dugaan hamba Allah swt. yang saleh itu perihal ketidaksabarannya.
Ayat 69-70:

Mendengar komentar sebagaimana terbaca pada ayat yang kemudian dia, yakni Nabi Musa as. berkata kepada hamba yang saleh itu, Engkau insya Allah swt. akan mendapati saya sebagai seorang penyabar yang insya Allah swt. bisa menghadapi ujian dan cobaan, dan saya tidak akan menentangmu dalam sesuatu perintah yang engkau perintahkan atau urusan apapun.
  
Perlu diingat bahwa Nabi Musa as. ketika mengucapkan janjinya diatas, tentu saja tidak sanggup memisahkan diri dari tuntunan syariat, dan agaknya diapun yakin bahwa hamba Allah swt. yang saleh niscaya mengikuti tuntunan Allah swt.. Atas dasar itu, sanggup diduga keras adanya syarat yang terbetik  dalam benak Nabi Musa as. syarat yang tidak terucapkan  yakni “selama perintah itu tidak bertentangan dengan syariat agama.”
  
Di sini Nabi Musa as. menjawab dengan sangat halus juga. Dia menilai pengajaran yang akan diterimanya merupakan perintah yang harus diikutinya, dan mengabaikannya berarti pelanggaran. Kendati demikian, Nabi Musa as. cukup berhati-hati dan tidak menyatakan bahwa dirinya ialah penyabar, sebelum menyebut dan mengaitkan kesabarannya itu dengan kehendak Allah swt. swt. Dengan menyebut insya Allah swt., Nabi Musa as. tidak sanggup dinilai berbohong dengan ketidaksabarannya, lantaran dia telah berusaha, namun itulah kehendak Allah swt. yang bermaksud membuktikan adanya seseorang yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa as.
  
Ucapan Insya Allah swt.  itu disamping merupakan susila yang diajarkan semua agama dalam menghadapi sesuatu di masa depan, ia juga mengandung makna permohonan kiranya memperoleh dukungan Allah swt. Apalagi dalam belajar, khususnya dalam mempelajari dan mengamalkan hal-hal yang bersifat batiniah/tasauf. Disisi lain, perlu dicatat bahwa jawaban hamba Allah swt. yang saleh dalam mendapatkan keikutsertaan Nabi Musa as. sama sekali tidak memaksanya ikut. Beliau memberim kesempatan kepada Nabi Musa as. untuk berpikir ulang dengan mengatakan, “jika engkau mengikutiku.” Beliau tidak melarangnya secara tegas untuk mengajukan pertanyaan tetapi mengaitkan larangan tersebut dengan kehendak Nabi Musa as. untuk mengikutinya. Dengan demikian bahwa larangan tersebut bukan tiba dari diri hamba yang saleh itu, tetapi ia ialah konsekuinsi dari keikutsertaan bersamanya.

4. Tafsir al-Munir

Dalam ayat ke-66 ini dijelaskan, bahwa sesudah Nabi Musa as. mendapatkan Nabi Khidir as. dia memberi salam serta memperkenalkan diri. Nabi Musa as berkata; “Bolehkah saya menemani dan mengikuti engkau supaya mengajariku ilmu pengetahuan yang telah Allah swt. ajarkan kepadamu, sehingga saya diberi petunjuk untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh ?. Ini memperlihatkan pertanyaan yang lembut dan penuh kesopanan (tidak ada paksaan). Inilah pertanyaan yang mesti dilakukan oleh seorang murid terhadap gurunya.
  
Pada ayat ke-67 ini Nabi Khidir as. menjelaskan sebagai jawaban kepada Nabi Musa as. bahwa Nabi Musa as. tidak akan sanggup untuk menemani Nabi Khidir as. Ini mengambarkan Nabi Khidir as. diberi kelebihan oleh Allah swt. swt. yaitu ilmu pengetahuan yang tidak dimilki oleh Nabi Musa as.
  
Ayat ke-68 ini sebagai penegas (taukid) bahwa Nabi Musa tidak akan sabar bersama Nabi Khidir as. Nabi Musa as. tidak akan mengetahui nasihat dan kemaslahatan yang tersimpan secara hakikat dari kejadian tersebut. Kata “khubran” ialah pengetahuan yang mendalam.

Ayat ke-69 ini menjelaskan perihal komitmen Nabi Musa as. kepada Nabi Khidir bahwa ia akan sabar atas sesuatu yang akan terjadi di hadapan Nabi Musa as. dan tidak menyalahi apa yang sudah ditetapkan oleh Nabi Khidir as.
Ayat ke-70 ini menjelaskan, bahwa Nabi Khidir as. mendapatkan Nabi Musa as. sebagai murid dengan mengajukan syarat bahwa Nabi Musa as. jangan mengajukan pertanyaan perihal sesuatu sebelum Nabi Khidir as. menjelaskannya.

5. Tafsir Shafwatu al-Tafaasir

Apakah kau mengijinkan saya menemani perjalanan biar saya memperoleh sebagian dari ilmumu, ilmu yang akan memberi petunjuk dalam hidupku? Para Mufassir beropini obrolan ini merupakan bentuk etika kesopanan dan kethawaduan dari Nabi Allah yang mulia yakni nabi Musa a.s dan oleh lantaran itu seharusnya seorang murid yang ingin berguru kepada gurunya mempunyai sifat menyerupai ini.

Nabi Khidir berkata:”sesungguhnya engkau tidak akan bisa bersabar atas apa yang akan engkau saksikan, Ibnu Abbas berpendapat: sekali-kali engkau tidak akan bisa bersabar atas perbuatanku lantaran sesungguhnya saya telah mengetahui sebagian dari ilmu Allah.
Bagaimana     kamu akan bisa bersabar atas perbuatan yang nampak sedangkan angkau tidak mengetahui keghoibannya.

Musa menjawab engkau akan melihatku sebagai orang yang sabar dan saya tidak akan membantah perintahmu Insya-Allah.

Ini ialah syarat untuk nabi Musa sebelum memulai perjalanan yaitu jangan bertanya dan meminta klarifikasi perihal sesuatu dari tindakan-tindakan nabi Khidir hingga nabi Khidir sendiri yang menjelaskan kepada nabi Musa perihal rahasianya, Musa mendapatkan persyaratan nabi Khidir untuk menjaga susila seorang murid kepada gurunya, makna “la tas ‘alni an saiin” ialah janganlah bertanya sesuatu kepadaku hingga saya sendiri yang menjelaskannya kepadamu.

Selain dari beberapa penafsiran diatas, penulis mengemukakan beberapa jago Tafsir yang lain baik dari kalangan Mufassir klasik maupun modern diantaranya; Ibnu Abbas salah seorang sahabat Nabi yang jago dalam bidang tafsir yang riwayat-riwayatnya telah dikumpulkan oleh Fairuzzabadi menjelaskan bahwa perkataan Musa; hal at tabiuka dengan sesuatu yang lebih erat yaitu “Ashabi’uka” (menjadi sahabatmu) (Ibnu Katsir, III, 1997: 118). Penafsiran ini tentunya lebih mengarah pada tingkat adonan antar teman, sehingga dengan demikian antara guru dan murid tidak ada perbedaan yang signifikan. Karena bila yang di ungkit perbedaannya yang mendasarantara murid dan guru, maka yang terjadi ialah tidak adanya keberanian seorang murid dalam mengungkapkan keinginannya untuk meminta belajar, sebagaimana telah dilakukan oleh nabi Musa.


6. Tafsir at-Thabari

8. Tafsir UUI (Universitas Islam Indonesia)

Dalam ayat ke-66 ini Allah swt. menggambarkan secara terperinci perilaku Nabi Musa as. sebagai calon murid kepada calon gurunya dengan mengajukan undangan berupa bentuk pertanyaan. Itu berarti Nabi Musa as. sangat menjaga kesopanan dan merendahkan hati. Beliau menempatkan dirinya sebagai seorang yang ndeso dan mohon diperkenankan mengikutinya, supaya Nabi Khidir as. sudi mengajarkan ilmu yang telah Allah swt. berikan kepadanya.
    
Kemampuan Nabi Khidir as. meramalkan perilaku Nabi Musa as. kalau hingga menyertainya ialah berdasar ilmu laduni yang telah dia terima dari Tuhan, disamping ilmu anbiya yang dimilikinya. Dan memamng demikianlah perilaku dan perilaku Nabi Musa as. yang keras dalam menghadapi kenyataan-kenyataan yang bertentangan dengan syariat yang telah dia terima dari Tuhan.
    
Dalam ayat ini Nabi Khidir as. menegaskan kepada Nabi Musa as. perihal alasannya Nabi Musa tidak akan bersabar nantinya kalau terus menerus menyertainya. Di sana Nabi Musa as. akan melihat kenyataan pekerjaan Nabi Khidir as. secara lahiriyah bertentangan dengan syariat Nabi Musa as. Sedangkan secara batiniyah tidak mengetahui maksudnya atau kemaslahatannya.
    
Dalam ayat ini Nabi Musa as. berjanji tidak akan mengingkari dan tidak akan menyalahi apa yang dikerjakan oleh Nabi Khidir, dan berjanji pula akan melaksanakan perintah Nabi Khidir selama perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Allah swt.. Janji yang dia ucapkan dalam ayat ini dengan kata-kata “Insya Allah swt.” lantaran dia sadar lantaran sabar itu ialah kasus yang sangat besar dan berat, apalagi ketika memberikan kemunkaran, seperti panas hati dia tak tertahan lagi.
    
Dalam ayat ini Nabi Khidir as. sanggup mendapatkan Nabi Musa as. dengan pesan: “Jika kau (Nabi Musa) berjalan bersamaku, maka janganlah kau bertanya perihal sesuatu yang saya lakukan dan perihal rahasianya, sehingga saya sendiri menerangkan kepadamu duduk persoalannya. Jangan kau menegurku terhadap sesuatu perbuatan yang tidak sanggup kau benarkan hingga saya sendiri yang mulai menyebutnya untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya.

D. Rangkuman Penafsiran Q.S al-Kahfi ayat 66-70

E.    Esensi Penafsiran perihal pendidikan Q.S Al-Kahfi Ayat 66-70
 
Penafsiran diatas baik penafsiran yang dilakukan oleh para jago tafsir klasik maupun para jago tafsir modern pada dasarnya ialah mengarah pada pola pemikiran yang sama, yaitu berada dalam ruang lingkup perihal kewajiban seorang guru terhadap anak didiknya, dan etika/tatakrama seorang murid terhadap gurunya.

Sikap yang telah dilakukan Nabi Musa as. ketika pertama kali bertemu dengan gurunya ialah mengucapkan salam dan mengungkapkan niatnya dengan ungkapan yang halus dan sopan santun. Ungkapan “Hal attabi’uka” ialah salah satu teladan yang dikatakan oleh Nabi Musa, disamping ungkapan lainnya.

Hal ‘attabi’uka, ditafsirkan oleh mufassir baik klasik atau modern, semuanya mengarah pada pengertian yang lebih mendekati pada kedekatan antara seorang murid dan guru, yaitu “menjadi sahabatmu”. Hal ini mengakibatkan dasar bahwa tidak mesti sungkan bagi seorang murid meminta ilmu yang dimiliki guru. Hal ini juga dipandang oleh Hamka sebagai bentuk ratifikasi dan kesadaran diri seorang murid akan tingkat kebodohannya diahadapan guru, serta indikasi yang mengarah pada undangan seorang murid biar mengajarkan ilmu yang belum diketahui oleh murid.

Ilmu yang dimiliki oleh Nabi Khidir ialah ilmu yang pribadi dari Allah swt. yang tidak banyak diketahui oleh Nabi Musa as. dan ilmu yang dimiliki oleh Nabi Khidir ialah ilmu yang hanya sanggup diketahui dan diyakini lewat bathin, sehingga disinilah letak kelebihan yang ada pada Nabi Khidir as. Sebagain para mufair setuju bahwa ilmu yang dimiliki oleh Nabi Khidir as. ialah ilmu laduni.

Ungkapan Khidir bahwa engkau (Musa) tidak akan bersabar dan tidak melanggar perintah ialah bentuk teladan yang patut dicontoh, alasannya disini akan diuji tingkat kesabaran seorang murid atas yang dilakukan oleh seorang gurunya yang dianggap diluar kemampuannya, tidak termasuk hal-hal yang ghaib.

Janji dan pernyataan Nabi Musa as. dipandang oleh semua mufassir diatas ialah mengarah untuk tidak mengingkari perintah dan yang dilakukan oleh Khidir hanya sebatas yang zahir dan tidak bertentangan dengan perintah Allah, meskipun bertentangan dengan Nabi Musa as.

Permintaan guru kepada muridnya untuk tidak bertanya atas segala yang dilakukannya, mengindikasikan sebuah ujian kepada Nabi Musa as. untuk bersabar menunggu. Sebab suatu ketika guru akan memperlihatkan keterangan dan rahasianya. Proses pembelajaran akan berjalan lancar jikalau perjanjian antara murid dan guru disepakati, demikianlah yang dikatakan oleh Hamka.

Permintaan yang dilontarkan oleh Nabi Khidir supaya tidak bertanya atas segala yang dilakukannya, juga dianggap oleh sebagian mufassir diatas ialah sebagai bentuk undangan dan syarat yang harus diikuti oleh Nabi Musa as.. Kemudian syarat inipun diterima dengan nrimo tanpa ada tuntutan balik dari murid, serta dilakukan oleh jiwa Nabi Musa as..

F. Riwayat Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as.
 
1. Nabi Khidir as.

Khidir bukanlah nama asli. Namun itu pada hakikatnya merupakan julukan belaka julukan seseorang memang kerab ditemui di tanah arab. Julukan itu berkernan dengan sifat, sikap, perbuatan atau nisbat. Seperti nasabnya, nama Khidir dalam banyak riwayat juga memperlihatkan suatu kontroversial. Menurut Ibnu Qutaibah, dari Wahab bin Munabbih disebutkan bahwa Khidir itu berjulukan asal Balya bin Malkan Qoli’ bin Syalikh bin ‘Abir bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nun. Ismail bin Abi Uways menyatakan Khidir itu ialah Muammar bin Malik bin ‘Abdillah bin Teksr bin Azd. Sedangkan berdasarkan menurut hikayat Abu Khathab bin Dahyah dari Ibn Habib al Baghdadi dpat ibnu Qutaibah, bahwa Khidir itu berjulukan Amaniel bin Nur bin ‘Iyesh bin Ishaq.

Kontroversi perihal nama itu, menyerupai riwayat hidupnya, juga tak lepas dari ketidakjelasan sejarah ayah dan ibu Khidir. Tetapi nama yang banyak digunakan oleh kebanyakan ulama ialah Balya bin Malkan. Dalam Bukhari Muslim, dalam penuturan Ahmad, dari riwayat Ibnu Mubarak, dari Muammar, dari Humam dari Abi Hurairah, alasannya penamaan Khidir itu lantaran pada suatu hari ia duduk di tanah tandus berkapur. Tiba-tiba di tanah tempat duduknya itu, rumput-rumput hijau bergerak tumbuh seketika.

Secara geografis tanah arab dikenal dengan tandus, lantaran terletak lebih tinggi dari dasar maritim dibanding daratan Eropa yang mempunyai iklim cuek atau Asia Tenggara, contohnya yang rata-rata beriklim tropis. Karena itu, ketika rumput-rumputan tumbuh pada ketandusan tanah, semua orang mengira itu merupakan sesuatu yang aneh. Apalagi menyerupai yang dialami oleh Balya Ibn Malkan, dimana pada tempat duduknya, tanah yang tandus itu, seketika tumbuh rerumputan yang hijau dan segar.

Selain ketertegunan pada rerumputan yang secara tiba-tiba tumbuh tanpa adanya aturan alasannya tanggapan tertentu, orang-oramg juga akan menganggap absurd terhadap apa yang diceritakan oleh Abdurrazak kepada Imam Ahmad, bahwa rumput itu berjingkrak-jingkrak. Pada ketaknormalan itu, kemudian orang Arab menyampaikan Khidir, dan sejalan dengan itu Balya Ibn Malkan menerima julukan Khidir. Demikianlah diantara pendapat ulama perihal nasab Khidir, pendapat-pendapat itu, tentu memperlihatkan suatu perilaku yang kontroversial. Ini tak lepas dari keberadaan Khidir yang mempunyai riwayat hidup yang tampaknya tidak jelas. Tetapi bahwa ini semua, baik perilaku kotroversial para ulama maupun keganjilan pemahaman terhadap keberadaan Khidir merupakan bentuk dari kekuasaan Allah. Dengan membuat keganjilan itu, mungkin Allah akan menyampaikan pada insan bahwa lajur hidup dan kehidupan tidak serta-merta lurus, tetapi berwarna-warni.
   
Khidir termasuk sebagian keganjilan itu sendiri, Allah swt. Memberikan sifat itu padanya ialah sebagai rahmat. Karena rahmat itulah Khidir menjadi insan yang seakan “asing” dalam pemahaman kita, tetapi dia tetaplah sebagai salah seorang Nabi-nabi Allah yang patut untuk kita imani.
   
Ilmu yang dimiliki oleh Nabi Khidir ialah ilmu yang pribadi dari Allah swt. yang tidak banyak diketahui oleh Nabi Musa as. dan ilmu yang dimiliki oleh Nabi Khidir ialah ilmu yang hanya sanggup diketahui dan diyakini lewat bathin, sehingga disinilah letak kelebihan yang ada pada Nabi Khidir as. Sebagain para mufasir setuju bahwa ilmu yang dimiliki oleh Nabi Khidir as. ialah ilmu laduni.

2. Nabi Musa as.

Musa bin Imran bin Fahis bin 'Azir bin Lawi bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim bin Azara bin Nahur bin Suruj bin Ra'u bin Falij bin 'Abir bin Syalih bin Arfahsad bin Syam bin Nuh. Kemudian Musa menikah dengan puteri Syu’aib yaitu Shafura (Shafrawa/Safora/Zepoporah) dan mempunyai keturunan berjumlah 4 orang, mereka ialah Alozar, Fakhkakh, Mitha, Yasin, Ilyas.  Dikatakan dalam kisah Muhammad di perjalanannya menuju Sidrat al-Muntaha, bahwa Muhammad melihat Musa mempunyai fisik kekar, berambut lebat, tinggi, mempunyai jenggot putih panjang menutupi dadanya, rambutnya hampir menutupi badannya dan sembari memegang tongkat.
Musa diutus Allah untuk memimpin kaum Israel ke jalan yang benar. Ia merupakan anak Imran dan Yukabad binti Qahat, dan bersaudara dengan Harun, dilahirkan di Mesir pada pemerintahan Maneftah yang mempunyai julukan Ramses Akbar[
Musa menerima julukan Kalimullah yang artinya orang yang diajak bicara oleh Allah. Bahkan tidak jarang dia berdialog dengan Allah, obrolan antara seorang hamba yang sangat dekat dengan Sang Kekasih Yang Maha Pengasih. Namun, melihat julukan yang diberikan oleh Allah pada diri Musa, tampaknya Musa memang satu-satunya Nabi yang memperoleh keistimewaan itu.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Demikian artikel skripsi Bab 2 ini, semoga bermanfaat. silahkan berkomentar, dan terus mengunjungi blog ini.
 

Belum ada Komentar untuk "Nilai Pendidikan Islam Qs Al Kahfi Ayat 66 -70 Pecahan 2"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel